REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, Susilo Utomo menilai Koalisi Merah Putih (KMP) tidak mau "kehilangan" Partai Demokrat gara-gara menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Memang, Partai Demokrat tidak berafiliasi langsung dengan KMP. Namun, keduanya, baik Demokrat maupun KMP, kan sama-sama bisa dikatakan sebagai oposisi pemerintah," katanya Kamis (18/12).
Oleh karena itu, Demokrat sangat diperhitungkan oleh KMP untuk memperbesar kekuatan di DPR RI, termasuk dalam menyikapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Menurutnya, KMP sepertinya akan mengikuti langkah Demokrat yang menerima Perpu Pilkada. Pasalnya, jika sampai KMP menolak, Demokrat bisa saja merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
"Tentunya, KMP tidak mau kalau Demokrat sampai merapat ke KIH. Kalau Demokrat sampai merapat ke KIH, ya, KMP akan meredup. Oleh sebab itu, besar kemungkinan KMP menerima Perpu Pilkada," jelasnya.
Sebenarnya, kata pengajar FISIP Undip itu, langkah Demokrat sangat ditentukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti beberapa waktu lalu ketika SBY menemui Presiden RI Joko Widodo.
"Kedatangan SBY menemui Presiden Jokowi itu sebagai simbol kekuatan riil bahwa mau tidak mau KMP harus menerima Perpu Pilkada. Setelah itu, kan Golkar berbalik mendukung perpu," katanya.
Demikian pula, partai-partai politik lain yang menjadi anggota KMP, kata dia, nantinya juga akan mengikuti langkah mendukung perpu, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) yang sudah tegas menerima.
Terkait dengan Pilkada langsung, Susilo mengatakan bahwa demokrasi langsung yang diimplementasikan melalui pilkada langsung itu sebenarnya penanda penting berakhirnya Orde Baru dan masuk ke Orde Reformasi.
"Bagi rakyat, penanda itu penting sebab selama pemerintahan Orde Baru, rakyat tidak diberikan hak untuk memilih calon kepala daerahnya. Pilkada langsung berarti mengembalikan hak publik," katanya.
Kalau kemudian hak publik yang sudah diserahkan kepada rakyat itu diambil lagi melalui pilkada tidak langsung, yakni dipilih DPRD, kata dia, jelas rakyat akan merasa sangat kecewa.
"Selama Orde Baru, kepala daerah kan merupakan representasi elite parpol yang dipilih melalui DPRD. Oleh karena itu, pilkada langsung itu menjadi penanda Orde Baru ke reformasi," jelasnya.