REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Surabaya Muhammad Romahurmuziy menyatakan bahwa partai politik nasional saat ini menghadapi tujuh tantangan besar.
"Kami DPP PPP berupaya menjawab tantangan tersebut dengan menginstruksikan anggota DPR dan fungsionaris partai di seluruh tingkatan untuk meletakkan mata dan telinga di jantung persoalan rakyat," kata Romahurmuziy pada acara Tasyakuran Hari Lahir (Harlah) ke-42 PPP dan Ta'aruf Pengurus DPP PPP hasil Muktamar Surabaya di Jakarta, Senin (5/1) malam.
Romy, panggilan Romahurmuziy, menjelaskan ketujuh tantangan yang dihadapi partai politik nasional saat ini meliputi, pertama, memburuknya citra parpol menyusul terlibatnya sejumlah politisi dalam berbagai persoalan hukum dan sering tidak sejalannya fungsi representasi dewan dengan kehendak konstituen.
Dampaknya, kata dia, muncul tantangan kedua, yakni delegitimasi keberadaan partai politik dalam berbagai jabatan publik. Padahal, kata Romy, berdasarkan pasal 11 ayat (1) huruf e UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, telah menjamin bahwa salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi.
Tantangan ketiga, adalah semakin massifnya keberadaan politik berbiaya tinggi yang berakibat pada berubahnya demokrasi Pancasila menjadi praktik politik uang. "Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang," katanya.
Kemudian, tantangan keempat, politik kosmetika berbasis media, yakni partai-partai politik akan lebih bersolek memperebutkan pemberitaan media massa daripada berebut menyentuh hati rakyat.
Tantangan kelima, kata Romy, adalah personalisasi versus institusionalisasi partai politik seiring dengan dilema antara kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan transformatif. Tantangan keenam, bagaimana membawakan partai politik lebih berselera anak muda, karena sepertiga pemilih pada pemilu 2019 yang akan datang adalah usia 30 tahun ke bawah.
Kemudian, tantangan ketujuh, menurut dia, akibat berkembangnya piranti telekomunikasi berimplikasi pada informasi politik yang semakin lateral, semakin ke pinggir, yang menjadikan keputusan politik harus dibuat semakin transparan kalau tidak ingin ditinggalkan oleh pemilih.