REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah warganya yang merupakan terpidana mati narkoba telah dieksekusi mati, duta besar Brasil di Indonesia pun angkat kaki. Marco Archer Cardoso Moreira, warga Brasil, diketahui telah menjalani eksekusi mati di Nusakambangan pada Minggu (18/1) dini hari.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menilai keputusan eksekusi mati ini merupakan kewenangan pemerintah Indonesia. Kendati demikian, ia mengaku menghargai sikap pemerintah Brasil yang menarik duta besarnya di Indonesia serta melayangkan rasa keberatannya terhadap proses hukum di Indonesia.
"Ya memang suatu keputusan negara berdaulat seperti Indonesia, itu adalah kewenangan kita. Tapi ada banyak negara berbeda pendapat terkait hukuman mati dan perlu kita hargai juga. Namun yang tetap kita jalankan adalah kepentingan nasional kita," jelas JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Senin (19/1).
JK mengaku wakil dari sejumlah negara pun telah menemuinya membicarakan hukuman eksekusi mati terhadap warganya di Indonesia. Ia pun mengatakan telah memberi penjelasan kepada para dubes dari sejumlah negara terkait hal ini.
Menurutnya, eksekusi mati merupakan keputusan pengadilan. Presiden hanya menolak untuk memberikan pengampunan, tambahnya.
"Saya jelaskan pada mereka, semua datang pada saya semua, Dubes Belanda, Dubes Australia, Menteri Perancis datang, yang paling penting saya bilang ke mereka bahwa ini bukan keputusan presiden. Ini keputusan hakim dari pengadilan pertama sampai tertinggi memutuskan itu. Presiden hanya tak menerima, tak menyetujui pengampunan itu. UU ini berlaku di banyak tempat," kata JK.
Dari enam terpidana mati yang dieksekusi, lima di antaranya merupakan warga negara asing. Mereka yakni Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia, dan Tran Thi Bich Hanh (37) warga negara Vietnam.