REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Wapres Jusuf Kalla dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) yang tersandung polemik KPK-Polri terlihat menghadiri pengukuhan Ketua Mahkamah Agung (MA) HM Hatta Ali sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu.
Kedatangan Bambang yang mengenakan jas hitam itu langsung disorot kamera di Aula Garuda Mukti, Rektorat lantai 5 Kampus C Unair, sehingga sejumlah undangan dalam acara pengukuhan itu pun langsung berdiri untuk menyalami, bahkan sebagian mengajaknya berbincang-bincang.
Tidak hanya itu, Bambang Widjojanto yang akrab disapa BW itu pun tetap menjadi "bintang" saat acara pengukuhan berakhir, karena sejumlah undangan pun berbincang-bincang dengannya. "Bagaimana kabarnya, pak," ujar salah seorang di antara mereka.
Namun, acara pengukuhan Ketua MA itu memang bertabur "bintang", di antaranya Ketua Komisi Yudisial Sutarman Marzuki, Ketua MK Arief Hidayat, Ketua BPK Harry Azhar Azis, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua DPR Setya Novanto.
Selain itu, Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin, mantan Menko Perekonomian era SBY
Chairul Tanjung, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir, mantan Mendikbud Mohammad Nuh, dan sejumlah pejabat negara lainnya.
Saat acara berlangsung, BW bersama para "bintang" tampak duduk di barisan kursi terdepan, sedangkan Wapres Jusuf Kalla duduk di kursi para guru besar dengan diapit oleh Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) Unair Sudi Silalahi dan Rektor Unair Prof Dr H Fasich Apt.
"Pengukuhan ini bukan pencitraan, tapi merupakan pengakuan atas prestasi beliau dalam bidang ilmu hukum tentang reformasi sistemik dalam lembaga peradilan yang memihak publik, sehingga tumpukan perkara di MA turun drastis dan putusan pengadilan pun transparan karena dapat diakses melalui website," katanya.
Setelah membuka sidang pengukuhan itu, Rektor Unair Prof Fasich langsung meminta HM Hatta Ali yang alumni FH Unair pada 1977 itu untuk memulai pidato pengukuhan bertajuk "Revitalisasi Fungsi MA melalui Reformasi Sistemik dan Berkelanjutan".
"Reformasi sistemik untuk peradilan yang telah saya lakukan, di antaranya hakim yang selama ini memiliki dua atasan yakni Kehakiman dan MA pun saya satukan," kata Hatta Ali yang beberapa kali sempat bergetar suaranya karena terharu.
Selama ini, urusan administrasi atau manajerial dari seorang hakim berada di Kehakiman tapi teknis yuridis berada di MA. "Jadi, perut di Kehakiman tapi otak di MA, lalu saya satukan, sehingga independensi hakim terjaga," katanya.
Reformasi lainnya, transparansi peradilan melalui SK Ketua MA 14/2007, sehingga para pencari keadilan tak perlu ke PN atau MA untuk tahu perkembangan perkaranya, karena semuanya bisa ditelusuri lewat laman (website).
"Saya juga mematok waktu tiga bulan untuk penyelesaian perkara di MA dan siapa yang melanggar akan dijatuhi sanksi. Untuk percepatan itu, saya membagi para hakim dalam lima kamar sesuai keahliannya, yakni pidana, perdata, PTUN, agama, dan militer," katanya.
Dalam pidatonya, Hatta Ali juga memberi kesempatan kepada perguruan tinggi dan masyarakat untuk mengkritisi putusan peradilan yang ada dalam laman dan menyampaikan masukan kepadanya. "Kritik lembaga peradilan adalah hal lumrah dan tidak hanya di Indonesia. Di negara maju, kritik terhadap peradilan pun tidak kalah gencar, terutama dari kalangan ekonom. Hukum yang lambat dan tidak efisien membuat tidak bisa diandalkan oleh pencari keadilan," katanya.