Jumat 06 Feb 2015 22:20 WIB

Larangan Impor Pakaian Bekas Ditanggapi Dingin Pedagang

Rep: Andi Nurroni/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pakaian bekas impor.   (ilustrasi)
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Pakaian bekas impor. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Tak ada yang berubah dengan suasana Pasar Gembong di Surabaya, Jumat (6/2). Sentra jual-beli pakaian dan perabot bekas di Kota Pahlawan itu tetap semarak seperti biasanya.

Padahal, Menteri Perdagangan beberapa hari lalu telah melarang impor pakaian bekas dan mengimbau masyarakat tak menjual-belikan sandang bekas pakai dari negeri lain.

Ridoi (43), salah seorang pedagang mengatakan, larangan jual-beli pakaian bekas sudah sering disampaikan pemerintah, baik pusat maupun daerah. "Biarin saja, sudah biasa. Toh enggak ngaruh ke pembeli," ujar warga Wonokusumo, Surabaya itu.

Menurut Ridoi, Pasar Gembong sudah ada dan menjual pakaian bekas sejak tahun 1970-an. Ia pun mengaku mewarisi kios di sana dari orangtuanya. "Saya generasi kedua di sini," ujar dia.  

Berjualan sandang bekas, menurut dia, adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi keluarganya. Dalam sehari, Ridoi mengaku, penghasilan kotor yang dia dapat berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.  "Paling ramai biasanya Sabtu-Minggu. Banyak mahasiswa," ujar ayah satu anak itu.

Menurut Ridoi, jaman bapak-ibunya dulu, pakaian dan barang bekas yang dijual hanya masih dari dalam negeri. Ia sendiri tidak ingat persisnya kapan pakaian bekas impor masuk ke Pasar Gembong. Pakaian yang ia jajakan saat ini, menurut Ridoi, berasal dari Cina, Korea dan Amerika Serikat. Satu bulan sekali, ia mengatakan, ia memesan ke Pasar Senen, Jakarta. Kemudian, menurut Ridoi, barang diantar ke Pasar Gembong.

Menurut Ridoi, barang di pesan dalam satuan bal atau karung besar. "Kita pesan per bal. Tergantung pesanan, kalau pesan kemeja, ya satu bal isinya kemeja semua," ujar dia.

Pedagang lain, Mail, mengaku heran dengan alasan Menteri Perdagangan. Soal kesehatan, menurut dia, selama 10 tahub berjualan, belum pernah ada yang mengeluh terganggu kesehatannya.

Mail juga berharap Menteri Perdagangan realistis dalam mengambil kebijakan. "Dia bilang malu pakai pakaian bekas bangsa lain. Memang kenyataannya masyarakat kita miskin. Mau apa? Mungkin dia Menteri, bisa beli apa-apa baru," ujar Mail dengan nada tinggi.

Seorang pembeli, Mamduh, merasa keberadaan pasar pakaian bekas impor membantu masyatakat kecil, baik pedagang maupun pembeli. Lebih jauh pegawai swasta itu mencurigai adanya lobi-lobi bisnis dalam kebijakan Menteri Perdagangan. "Sepertinya ada kompetisi perdagangan pakaian. Bisa saja para pengusaha pakaian baru merasa tersaingi, dan Menteri lebih mendengar mereka yang lebih bermodal," ujar warga Surabaya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement