REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak mencabut moratorium pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke negara-negara Timur Tengah untuk menekan jumlah kasus kekerasan terhadap pekerja Indonesia.
"Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah (Timteng) memang tidak ada masalah, namun soal TKW masih banyak masalah," kata pengamat Timur Tengah Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah, Rabu (11/2).
Mutiah menyebutkan pada 2009 terdapat 44.438 buruh migran bermasalah yang dipulangkan dari Arab Saudi. Angka tersebut naik signifikan dibandingkan 2008 yang hanya mencapai 22.035 TKI bermasalah di negara itu.
"Masalah itu kebanyakan akibat pelecehan seksual atau kekerasan TKW oleh majikan," kata dia.
Banyaknya jumlah TKI, khususnya TKW yang bermasalah di Arab Saudi, menurut dia, disebabkan di negara itu tidak memiliki budaya perempuan bekerja.
Sehingga, dengan adanya perempuan yang justru dikirim untuk bekerja sebagai TKW ke negara itu, akan dipandang sebelah mata.
"Sehingga mereka (TKW) dianggap budak," kata Mutiah.
Menurut dia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memang perlu terus menerus meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara Timur Tengah, namun perlu pengecualian untuk persoalan TKW.
"Apalagi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) masih banyak mengirim tenaga kerja yang tidak terampil kesana. Kemampuan bahasa Inggris juga masih buruk sekali," kata dia.
Pemerintah Indonesia memoratorium pengiriman TKW ke Arab Saudi, Yordania, Libya, Sudan, Kuwait, Syria, dan Yaman, sejak Juli 2011. Moratorium itu akibat mencuatnya kasus Sumiati, TKW asal Kabupaten Dompu, NTB, yang disiksa majikannya di Arab Saudi, Nopember 2010.