REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Logika hukum yang digunakan hakim Sarpin Rizaldi dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan dinilai menjungkirbalikkan tatatan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
''Dalam gugatan BG yang mengajukan gugatan mengenai sah tidaknya proses penetapan tersangka, sama sekali tidak disebutkan dalam KUHAP sebagai persoalan yang diajukan dalam sidang praperadilan. Namun, Hakim Sarpin ternyata menganggap persoalan itu bisa disidangkan di praperadilan yang dipimpinnya,'' jelas pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho, Senin (16/2).
Kepala Pusat Kajian Korupsi Unsoed ini menyatakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sudah jelas menyebutkan mengenai apa saja persoalan yang bisa diajukan dalam sidang praperadilan.
Dengan pendapat tersebut, Hibnu menyebutkan, hakim Sarpin sudah membuat penafsiran sendiri mengenai ketentuan masalah praperadilan yang tercantum dalam KUHAP. Padahal, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP dalam masalah praperdilan sebenarnya sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi.
Terkait putusan yang telah ditetapkan Hakim Sarpin, Hibnu menyebutkan, pengacara KPK masih berpeluang untuk meminta putusan akhir ke pengadilan tinggi atau proses banding. Hal ini karena yang ditetapkan oleh Hakim Sarpin terkait persoalan dalam pasal 83 ayat 2 KUHAP.
Yakni, sah tidaknya proses penghentian penyidikan atau penuntutan. Bukan terkait pasal 83 ayat 1, mengenai sah tidaknya proses penangkapan atau penahanan.
Sebenarnya, dalam gugatan praperadilan yang diajukan BG, sejak awal sudah jelas tidak termasuk dalam obyek yang bisa disidangkan dalam praperadilan.
“Namun karena hakim pra peradilan sudah memutuskan proses penetapan tersangka BG oleh KPK dianggap sebagai tidak sah dan ini berimplikasi pada proses penghentian penyidikan, maka KPK bisa mengajukan banding,'' jelasnya.