REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Presiden Jokowi untuk melantik tiga pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi serta menunjuk calon Kapolri baru dinilai sebagai bentuk meredakan konflik dengan kompromi.
“Ada kesan yang kuat bahwa sikap Presiden kemarin merupakan bentuk kompromi sekedar menenangkan pihak-pihak yang bertikai,” terang Juru bicara Serikat Pengacara Rakyat (SPR), Habiburokhman, Kamis (19/2).
Indikasinya, imbuh Habiburokhman, terlihat bahwa di satu sisi Komjen Budi Gunawan tidak jadi dilantik, namun pimpinan dan penyidik KPK tetap dibiarkan terjerat kasus hukum yang amat janggal.
Sikap kompromi, ujarnya, dapat diibaratkan sebagai peredam kejut, hanya menyelesaikan persoalan sesaat namun tidak menyelesaikan inti permasalahan.
Sehingga, ia agak sulit memahami orientasi Presiden Jokowi, apakah sekedar terjaganya hubungan baik antara KPK dan Polri atau penegakan hukum dan pemberantasan korupsi secara tuntas.
“Sulit dimengerti mengapa Jokowi tidak mampu mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan persoalan ini,” ujarnya.
Jika memang tidak berkenan secara langsung memerintahkan penghentian kasus dugaan kriminalisasi kepada pimpinan dan penyidik KPK, ia menilai, setidaknya Jokowi bisa meminta dilakukan audit khusus terhadap penanganan kasus tersebut.
Pihak penyidik Polri harus bisa memberikan jawaban jelas yang substantif dan bukan normatif mengapa kasus sebanyak itu bisa dilakukan bersamaan.