Kamis 19 Feb 2015 22:45 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Jokowi Hentikan Kriminalisasi KPK

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung KPK
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta Presiden Joko Widodo menghentikan kriminalisasi yang terjadi terhadap KPK. Mereka menyatakan prihatin atas sikap Presiden yang dinilai tidak menunjukkan itikad untuk menghentikan kriminalisasi terhadap lembaga antikorupsi tersebut.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorpsi Alghifari Aqsa mengatakan, tindakan kriminalisasi tidak berhenti dengan pembatalan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Hingga hari ini, kata dia, tindakan kriminalisasi terhadap KPK masih berlangsung dan bahkan terus-menerus terjadi secara sistematis.

"Besok, 20 November 2015, Novel Baswedan (penyidik KPK) akan diperiksa sebagai tersangka, belum lagi, lebih dari 21 penyidik KPK dalam waktu dekat akan dijadikan tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri," katanya di gedung KPK, Kamis (19/2).

Dia mengatakan, hal itu diperkuat dengan langkah Presiden menerbitkan Keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK dan disusul dengan penerbitan Perppu pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Penerbitan Perppu Plt Pimpinan KPK semakin mempertegas bahwa Jokowi menganggap serangkaian kriminalisasi terhadap KPK adalah proses penegakan hukum biasa dan bukan kriminalisasi.

Menurutnya, pemberhentian pimpinan KPK menunjukkan bahwa Presiden melakukan tindakan yang timpang. Presiden segera bersikap untuk kasus-kasus 'biasa' yang diduga dilakukan pimpinan KPK. Tetapi di sisi lain sama sekali tidak untuk kasus-kasus korupsi. Dengan demikian, komitmen pemberantasan korupsi Presiden Joko Widodo patut dipertanyakan.

Alghifari mengatakan, Jokowi juga masih menutup mata dengan fakta bahwa kepolisian terus-menerus melakukan pembangkangan terhadap arahan presiden. Penyelamatan terhadap kewibawaan presiden terutama dengan menempatkan presiden sebagai komandan tertinggi di institusi Kepolisian. Kepolisian, kata dia, harus mematuhi dan melaksanakan arahan dari Presiden.

Selain tidak sensitif terhadap gerakan pemberantasan korupsi, lanjut dia, Jokowi juga tidak peka terhadap penghormatan atas hak asasi manusia. Jokowi telah mengabaikan rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kewenangan, penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan pelanggaran terhadap hukum acara dan due process of law.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement