Ahad 22 Feb 2015 21:30 WIB

LIPI: Jangankan 3 Hari, Indonesia Perang Selama 5 Jam Saja Keteteran

Rep: Laeny Sulistyawati/ Red: Bayu Hermawan
  Pesawat tempur milik TNI AU melakukan atraksi posisi diamond di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (15/1). ( Republika/Raisan Al Farisi)
Pesawat tempur milik TNI AU melakukan atraksi posisi diamond di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (15/1). ( Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertahanan asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochamad Nur Hasim menilai bahwa pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu di jejaring sosial twitter mengenai Indonesia hanya sanggup berperang selama tiga hari ada benarnya. 

Bahkan, ia memperkirakan seluruh kekuatan pertahanan keamanan (hankam) Indonesia jika berperang selama lima jam saja sudah keteteran. Ia juga sangsi, jika Indonesia mengalami nasib seperti Irak yang diserang negara yang memiliki peralatan perang canggih dan modern seperti Amerika Serikat (AS) mampu bertahan tiga hari.

"Jangankan tiga hari, perang selama lima jam saja Indonesia sudah keteteran," ujarnya kepada Republika, Ahad (22/2).

Menurutnya, pernyataan Menhan dan Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo dalam konteks tertentu.

Ia mencontohkan, kalau Indonesia menghadapi serangan dan terjadi di tiga titik berjauhan yaitu di Pulau Papua, Aceh, hingga Jawa maka yang menjadi problem keterbatasan mobilisasi pasukan untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan itu. Kalau mobilitas terlambat, kata dia, tentunya musuh sudah masuk Indonesia.

"Kalau kita benar-benar berperang melawan negara lain yang sistem peralatannya lebih canggih seperti Australia, Singapura maka ada kekhawatiran kita tidak siap menghalau serangan dari wilayah luar," jelasnya.

Ia menyebutkan, lemahnya pertahanan Indonesia karena beberapa sebab. Pertama, beberapa usia alat utama sistem pertahanan (Alutsista) yang dimiliki Indonesia sudah tua. Sementara alutsista di Tanah Air masih sangat kurang dibandingkan negara-negara pemilik alutsista canggih itu.

Disatu sisi, negara selama ini pemerintah hanya fokus membeli pesawat. Padahal, ada pesawat F16 yang kini masih terkena embargo.

Disinggung mengenai komentar Anggota Komisi I DPR mengenai anggaran untuk Kemenhan yang terbilang besar atau lebih dari Rp 100 triliun, ia menyebutkan bahwa anggaran itu hanyalah untuk Kekuatan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF).

"Anggaran itu sangat kurang dan tidak mencakup apabila terjadi perang modern yaitu perang menggunakan teknologi. Misalnya ada negara yang mengirim pesawat tanpa awak atau rudal ke Indonesia dan jangkauannya sangat jauh, kita tidak bisa menanganinya karena tidak memilikinya," katanya.

Seharusnya, kata dia, besarnya porsi anggaran pertahanan yang diberikan untuk Indonesia bukan dibandingkan dengan pos anggaran lain. Melainkan harus dibandingkan dengan anggaran pertahanan negara lain yang militernya lebih baik seperti Singapura dan Malaysia, bahkan AS. 

Belum lagi, energi untuk mendukung sektor pertahanan yang dinilainya masih kurang. Ia menceritakan, selama ini latihan pasukan tentara terkendala akibat kurangnya bahan bakar. Menurutnya, negara ini cenderung mengekspor dibandingkan mendukung kebutuhan dalam negeri, termasuk untuk angkatan perang Indonesia.

Akibatnya ketika tentara akan berlatih menggunakan mesin tempur yang menggunakan bahan bakar menjadi terkendala.

"Padahal, jika ingin memiliki kapabilitas dan kapasitas pertahanan dan keamanan maka latihan perang harus didukung, termasuk jaminan pasokan bahan bakar," ujarnya.

Belum lagi Indonesia yang belum memiliki kilang bahan bakar. Sehingga, jangka waktu suplai minyak hanya selama 22 hari. Ia mempertanyakan kalau kilang itu ada di tempat jauh dan Indonesia sedang dilanda perang maka kendaraan mau diberi bahan bakar apa.

"Itu riil, itu penggunaan energi nasional itu dalam kondisi darurat," ucapnya.

Seharusnya, kata dia, pemerintah memberikan alokasi energi khusus untuk suplai pertahanan, terutama untuk menghadapi perang, krisis.

Nur Hasim juga mengkritik Indonesia yang masih menggunakan konsep tradisional atau lama. Indonesia disebutnya menerapkan konsep pertahanan keamanan yang melebur dengan pusat kekuatan sipil atau permukiman masyarakat atau pusat kekuatan sipil.

"Kita tidak membayangkan kalau markas besar TNI dibom karena disekitarnya sudah ada fasilitas sipil seperti rumah penduduk. Sedangkan Kostrad terletak di dekat istana negara," ujarnya.

Kalau konsep ini dipertahankan, kata dia, seharusnya tentara harus mencegat musuh di wilayah paling luar atau perbatasan. Tetapi, lagi-lagi pertahanan bangsa rapuh, bahkan kasus pencurian ikan secara ilegal saja belum mampu diselesaikan.

"Apalagi kalau ancaman pertahanan. Sementara kalau melihat konsep pasukan tempur modern kan mengguncang lewat laut, darat, dan udara karena proses mobilisasi reaksi cepat," katanya.

Faktanya, Indonesia masih dominan kekuatan di darat. Padahal, seharusnya ada penyeimbang kekuatan, baik udara, laut, dan darat. Indonesia juga harus memetakan secara jelas siapa yang dianggap sebagai musuh. Mulai dari siapa musuh yang dihadapi, seperti apa, hingga ancaman kekuatannya seperti apa.

Jika memang demikian, kata dia, ia sepakat dengan pernyataan Ryamizard yang dibuka ke khalayak karena supaya mereka paham dan ada kesamaan untuk membangun pertahanan. "Lagipula sudah ada lembaga yang melakukan analisis sistem ketahanan negara," ucapnya.

Lembaga itu menganalisa mulai pertahanan di Tanah Air, alutsista, jumlah pasukan, hingga berapa mesinnya. Kemudian hasil analisa itu dibuat dalam review tahunan yang sebagian diumumkan ke masyarakat umum dan ada yang tidak. Belum lagi adanya intelijen yang memata-matai kekuatan pertahanan Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement