REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istri warga negara Prancis yang divonis mati di Indonesia terkait kasus pabrik ekstasi Serge Atlaoui, Sabine Atlaoui, meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Indonesia atas kesalahan yang telah dilakukan suaminya.
"Saya dan suami saya meminta maaf kepada pemerintah serta masyarakat Indonesia atas tindakan yang telah dilakukan suami saya selama di Indonesia," kata Atlaoui dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, Kamis (26/2).
Terkait hukuman mati suaminya, Sabine Atlaoui menyatakan bahwa dia dan keluarganya menghormati semua proses hukum di Indonesia dan pihaknya akan mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai satu-satunya jalan hukum yang masih bisa ditempuh.
"Semoga upaya hukum ini dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh pengadilan. Saya berharap suami saya bisa bebas dari hukuman mati," ujar ibu yang memilki empat orang anak dari hasil pernikahannya dengan Serge Atlaoui.
Dia menambahkan selama ini suaminya adalah tulang punggung keluarga, namun sejak dia ditahan dirinya yang mengambil alih peran suaminya dengan melakukan berbagai pekerjaan dari pelayan di rumah makan hingga petugas kebersihan di hotel.
Sementara itu dia mengaku belum bertemu secara langsung dengan suaminya sejak kedatangannya pada tahun 2013 dan mengatakan akan berangkat ke LP Pasir Putih Nusakambangan, tempat suaminya ditahan, sesegera mungkin. Serge Atlaoui divonis mati pada tahun 2007 oleh Mahkamah Agung atas kasus narkoba.
Saat itu dia dinyatakan terlibat dalam pengoperasian pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Hukuman mati di tingkat kasasi tersebut lebih berat daripada vonis di Pengadilan Negeri Tangerang tahun 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten tahun 2007, yang menyatakan Atloui harus menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Namanya masuk dalam daftar narapidana yang akan dieksekusi mati oleh Kejaksaan Agung RI setelah grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G tahun 2014.
Sebelumnya Kejaksaan Agung RI telah mengeksekusi mati enam terpidana narkoba pada 18 Januari 2015.