REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dukungan untuk Hatta Rajasa memimpin PAN semakin menguat. Pengurus daerah partai tersebut diyakini melimpahkan dukungannya kepada pria yang kini menjadi besannya Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center Zaenal A Budiyono mengungkapkan, setidaknya ada empat syarat jika PAN ingin menjadi partai modern. Pertama, meninggalkan tradisi dominasi elit. Dalam sistem partai modern di negara-negara demokrasi, partai adalah alat perjuangan kepentingan seluruh anggota dan simpatisan, bukan milik sebagian elit.
"Dalam konteks PAN, sebagai partai reformis, penting untuk memastikan bahwa tidak ada elit yang menguasai partai dan menjadi patron satu-satunya," jelasnya, di Jakarta, Sabtu (28/2).
Kedua, lanjut Zaenal, sistem organisasi bekerja di atas kepentingan personal dan kelompok. Teori sistem dalam politik menegaskan partai politik harus membangun sistem yang kuat untuk mengatur organisasi.
Ketiga, PAN harus menjadi partai yang bergeser ke tengah. Sejak 1999-2009 identitas politik PAN sulit dilepaskan dari Muhammadiyah. Sepintas hal ini menguntungkan karena Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar kedua di Indonesia.
Di era Hatta, 2010-2015, pergeseran PAN ke tengah lebih terlihat nyata di lapangan. Indikasinya, makin banyak pengurus partai dari berbagai latar belakang, baik suku, agama maupun basis kultural.
Aktivis NU juga banyak menjadi pengurus PAN di era Hatta. Sebagaimana diketahui, sejak 1999 suara PAN terus menurun hingga 2009 ke titik terendah (6,1 juta suara). Dan momentum pergeseran PAN ke tengah di era Hatta diganjar pemilih dengan peningkatan suara 53% menjadi 9,5 juta suara.
Yang terakhir, keempat, kata penulis buku Memimpin di Era Politik Gaduh itu, kapasitas pemimpin diakui publik. Di era pemilihan langsung, kapasitas ketua umum partai, besar pengaruhnya dalam mendongrak suara. Kapasitas berbeda dengan ketokohan semata, karena kapasitas lebih menitikberatkan pada kemampuan dan kinerja serta rekam jejak, imbuh Zaenal.