REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri plastik hilir meminta kepada pemerintah agar menurunkan bea masuk bahan baku plastik dan kemasan menjadi 5 persen. Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan mengatakan, usulan persentase tersebut untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur di sektor hilir yang masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara.
Menurut Tjokro, persentase tersebut telah memperhitungkan kelangsungan bisnis di hulu maupun hilir. Saat ini bea masuk yang berlaku sebesar 10 persen, sehingga menjadi lebih mahal. Akan tetapi, apabila bea masuk nol persen dikhawatirkan industri hulu yang akan terjepit.
"Oleh karena itu dengan hitungan kami, persentase di hulu dan hilir bisa sama-sama hidup," ujar Tjokro, Ahad (1/3).
Bea masuk tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Regulasi ini mencakup bahan baku plastik seperti polipropilena dan polietilena. Tjokro mengatakan, bea masuk yang berlaku saat ini kurang bersahabat bagi industri, karena kebutuhan raw material masih harus impor dan suplai dalam negeri belum mencukupi.
"Bea masuk 10 persen untuk memproteksi industri plastik di hulu sehingga kapasitas produksi bisa meningkat, tapi sampai saat ini peningkatannya belum terlihat," ujar Tjokro.
Selain bea masuk, Tjokro juga menyoroti soal transaksi di dalam negeri yang menggunakan dolar AS. Kurs rupiah yang beberapa waktu ini tidak stabil, tentu saja sangat berdampak besar bagi pelaku industri hilir. Tjokro berharap, pemerintah bisa mengambil kebijakan seperti Vietnam dan Thailand yang melarang penggunaan mata uang asing.