Kamis 05 Mar 2015 13:13 WIB

KPK Didesak Segera Masuk ke Freeport

 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rencananya akan bertemu dengan PT Freeport Indonesia pada Jumat (6/3). Agendanya yakni pemerintah meminta PT Freeport Indonesia menyampaikan rencana kerja pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) tembaga nasional. Surat ESDM sudah disampaikan pekan lalu namun belum mendapat jawaban dari Freeport.

Smelter tembaga nasional melibatkan empat pemegang kontrak karya, yakni Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Gorontalo Mineral dan PT Kalimantan Surya Kencana. Keempat KK itu telah bersepakat untuk membangun smelter yang akan digarap oleh Freeport di Gresik, Jawa Timur. Newmont, Gorontalo Mineral dan Kalimantan Surya bakal menjadi pemasok bahan baku konsentrat tembaga ke smelter tersebut. Investasinya mencapai USD 2,3 miliar. Namun belum jelas mekanisme kerja sama dari keempat KK tersebut. Kesepakatan keempat KK itu pun belum ada.

Sedari awal, persoalan smelter Freeport ini menyimpan banyak masalah. Pada Jumat 23 Januari 2015 Kementerian ESDM menandatangani perpanjangan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) amandemen Kontrak Karya (KK) Freeport untuk 6 bulan ke depan. Perpanjangan dilakukan karena Pemerintah RI dan Freeport gagal menuntaskan renegosiasi KK sesuai perintah UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dalam jangka waktu enam bulan sejak MoU ditandatangani pada 25 Juli 2014 lalu. "Pemerintah dan Freeport bersama-sama telah melanggar perintah UU Minerba," kata  Wakil Sekjen DPP Partai Perindo Hendrik Kawilarang Luntungan, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/3).

Menurutnya, perpanjangan MoU itu sekali lagi membuktikan bahwa Pemerintah RI telah mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Sejak semula MoU yang ditandatangani pada 25 Juli 2014 itu melanggar Pasal 170 UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan Freeport harus melakukan proses pemurnian atas produksi konsentrat. Pemerintah telah melanggar UU Minerba dengan memberi relaksasi kepada Freeport karena belum dapat melakukan pemurnian dan gagal membangun smelter. Itu jelas-jelas melanggar UU," ujar Rully,  panggilan akrab Hendrik Kawilarang Luntungan.

Dia menambahkan, "Izin ekspor tidak boleh diberikan sebelum renegosiasi enam poin Freeport dengan pemerintah belum kelar."

Di balik perpanjangan baru izin ekspor Freeport itu, Hendrik  mencium ada permufakatan diam-diam antara pemerintah-Freeport. Karena sudah melanggar UU dan dibiarkan berjalan, Hendrik mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. "Pihak-pihak yang bermain harus disikat," tegasnya.

Hendrik  juga mendesak agar smelter harus dibangun di Papua. Bukan di Gresik, Jawa Timur, seperti komitmen Freeport. Adalah janggal jika smelter dibangun jauh dari tempat produksi. Selain itu pembangunan smelter di Papua juga akan mendorong ekonomi, membuka lapangan kerja dan menambah pendapatan daerah di provinsi itu. Aspirasi ini juga didukung Gubernur Papua Lukas Enembe dan masyarakatnya.

Hingga kini belum satu pun lembaga penegak hukum Indonesia yang mengusut pelanggaran UU dan peraturan pemerintah dalam perpanjangan izin ekspor konsentrat Freeport ini. Apakah sengaja dibiarkan atau sudah diperintahkan untuk diam, Hendrik  mengaku tak tahu. Yang pasti, ia meminta KPK turun tangan mengusut dugaan pelanggaran izin ini. KPK pernah mengungkap bahwa kebocoran di sektor tambang dan migas Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah. "KPK harus segera masuk ke Freeport," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement