REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhamamd Subarkah/Wartawan Republika
Di tengah semaraknya susana penerbitan buku karya sastra Islami, berbagai tantangan kini sudah begitu nyata terlihat. Sastra Islami diharapkan sekali bisa terus tumbuh secara luas dengan beragam tema. Benarkah begitu?
''Perlu waktu pendidikan berapa tahun untuk menjadikan seseorang menjadi seorang warga negara Indonesia?'' Pertanyaan ini diajukan sejawaran Inggris yang sangat pakar dalam seluk-beluk Pangeran Diponegoro, Peter Carey. Dia mengajukan pertanyaan ini di depan audiens untuk sebuah diskusi yang menyangkut relevansi sejarah masa lalu dengan kondisi hidup masa kini.
Mendengar pertanyaan ini, semua peserta diskusi hanya terdiam. Tak ada yang mencoba 'nyeletuk' untuk menjawabnya. Sesaat kemudian, Carey menjawab pertanyaan yang diajukannya itu. Dia kemudian mengambil amsal dari perjalanan hidupnya ketika tinggal dan bersekolah di Inggris.
"Saya ini orang Inggris. Di sana hanya butuh 12 tahun pendikan dari SD-SMA—untuk menjadikan sesorang anak menjadi 'orang Inggris yang utuh’. Dalam kurun selama itu, saya sudah membaca semua karya sastra Inggris, dari Shakespeare hingga para sastrawan Inggris penting lainnya. Buku tentang pahlawan Inggris semua juga wajib dibaca oleh anak sekolah di sini. Nah, saya tidak tahu persis apa yang terjadi di sini," ungkap Carey yang kelahiran Rangoon, Myanmar, itu.
******
Pernyataan Carey jelas mengentak kesadaran banyak orang. Di sana terekam secara kuat bahwa bangsa yang maju harus didukung oleh kuatnya budaya membaca dari masyarakatnya. Situasi ini sangat penting karena tanpa budaya 'literasi' yang kuat, nasib sebuah bangsa menjadi tak menentu karena sangat mudah diombang-ambingkan informasi yang tak jarang bisa berupa sekadar isu belaka.
Rendahnya budaya literasi (budaya baca) inilah yang sudah lama dikeluhkan oleh budayawan Taufiq Ismail. Penyair kondang ini sudah 17 tahun lamanya mencoba membangkitkan kesadaran agar bangsa ini mencintai buku. Dia berharap, kepada anak sekolah seharusnya mereka diberi kewajiban membaca seluruh karya sastra yang penting yang pernah dihasilkan, minimal oleh penulis yang berasal dari bangsa sendiri.
''Tapi, ya itu sedihnya. Setelah kami bergerak selama 17 tahun, hasilnya masih belum terlihat maksimal. Generasi penerus, yakni anak-anak sekolah kita, masih nol buku. Memang ada pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, tapi isi dan praktiknya hanya pelajaran mengarang. Kalau dibandingkan pendidikan di masa penjajahan Belanda dahulu, pendidikan kita sekarang ini malah ketinggalan,'' kata Taufiq.
Melihat fakta itu, lanjut Taufiq, menjadi sangat mengejutkan sekaligus membahagiakan bila di berbagai toko buku masih terpajang dengan mentereng buku karya sastra Indonesia. Bahkan, khusus untuk karya sastra Islami, kini sudah mendapatkan tempat terhormat, baik dari sisi isi maupun tingkat penjualan.
''Memang masih banyak kekurangan. Tapi, sudah ada karya sastra Islami yang hebat yang kualitasnya tak kalah dengan karya penulis pendahulunya. Mereka tumbuh di luar sekolah, melalui kelompok-kelomok sastra Islami yang kini tumbuh begitu subur. Di sini saya salut dengan Forum Lingkar Pena (FLP). Forum ini berhasil menggalakkan minat sastra dan sudah punya sampai 20 ribu anggota yang tersebar di 18 cabang yang ada di berbagai daerah,'' kata Taufiq.