REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang mengatakan terpidana kasus korupsi berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho menilai pernyataan Menkumham Yasonna terlalu dini, dan tidak terlebih dahulu membuktikan ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Dia tidak menahan diri, kejadian ini seperti berulang-ulang. Tiap tahun pemerintah selalu dipertanyakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi," tegasnya saat dihubungi Republika, Kamis (12/3).
Emerson melanjutkan, selama ini pemerintah sebelumnya juga terkesan sering mengobral remisi dan PB untuk koruptor. Misalnya kasus remisi terakhir, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Emerson menuturkan, pada awal Februari tahun ini ICW sampai mengajukan ke Mahkamah Agung judicial review atas surat edaran Kemenkum HAM 2014 terkait remisi empat orang napi korupsi. Tujuannya, meminta pembatalan remisi keempat koruptor itu yang diperoleh pada hari Natal 2014.
Ia mengatakan, pemerintah seharusnya memikirkan dampak korupsi sebagai extraordinary crime. Sebab, pemberantasan korupsi di Indonesia akan kian sulit bila para koruptor justru bisa dengan mudah menghirup udara bebas. Akan tetapi, ujar Emerson, remisi atau PB itu bisa saja diberikan kepada napi yang terbukti sebagai whistle blower perkara korupsi.
"Kalau whistle blower, boleh. Selainnya, nggak. Karena PP jelas menyebutkan, kecuali whistle blower," katanya.
PP 99/2012 menegaskan, narapidana khusus kasus korupsi, terorisme, dan narkotika tidak bisa mendapatkan remisi atau PB. Menurut Emerson, PP itu memuat perkecualian bagi whistle blower atau person yang mengetahui dan melaporkan tindak kejahatan, meskipun juga terlibat ke dalamnya.
"Tapi mesti jelas, siapa yang memberikan kapasitas whistle blower itu penegak hukum, bukan Kemenkum HAM," tandasnya.