REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah tak menghendaki penerjunan personel perang ke wilayahnya. Terlebih, penerjunan pasukan dimaksudkan untuk penindakan kelompok radikalisme. Politikus di DPR RI daerah pemilihan (Dapil) Sulawesi Tengah, Muhidin Mohamad Said mengatakan, masyarakat di sana takut kalau nantinya Poso kembali jadi zona militer.
"Jangan sampai nanti terjadi lagi seperti yang dulu-dulu. Masyarakat di sana (Poso) sudah tenteram. Kami minta, jangan lah dijadikan daerah operasi militer seperti dulu lagi," kata dia saat dihubungi, Rabu (18/3).
Mantan pengajar ilmu sosial dan politik di Universitas Tadulako itu menyebut, memang di Poso masih sering terjadi kerawanan keamanan. Kata dia, banyak kabar terjadi gangguan keamanan, seperti penembakan, bahkan penemuan-penemuan mayat.
Namun kabar kengerian itu, sambungnya, tak terang ujung dan pangkalnya. Kepolisian setempat, kata dia, tak jelas mengabarkan soal apa sebab kekerasan tersebut. Media pun, menurut dia, simpang siur mengabarkan. Isu mengenai kelompok ISIS di Poso pun dinilai masih sumir.
Menteri Kordinator Bidang Politiki, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdjianto, Selasa (17/3), memastikan, Mabes TNI akan mengirim sebanyak 2.000 personel perang dari tiga matra angkatan bersenjata ke Poso. Pasukan tersebut terdiri dari, Kopassus dan Kostrad (TNI AD), Marinir dan Kopaska (TNI AL), serta Kopaskhas (TNI AU).
Pengiriman pasukan tempur tersebut terkait dengan rencana latihan perang Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang bakal digelar selama satu bulan, sejak 22 Maret mendatang. Dikatakan Tedjo, dipilihnya Poso terkait dengan gelaran internasional Sail Tomini, September nanti.
Alasan lain, kata dia, karena adanya gangguan keamanan yang dilakukan gerombolan radikal. Jenderal Moeldoko, pernah menyampaikan serupa. Kata dia, dipilihnya Poso sebagai lokasi latihan perang ada terkait dengan bercokolnya ISIS di sana.