REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meninggalnya dua pasien Rumah Sakit (RS) Siloam di Tangerang akibat kesalahan obat beberapa waktu lalu berbuntut panjang. Hasil investigasi sementara Komisi IX DPR menyatakan, RS Siloam dan PT Kalbe Farma selaku produsen obat anestesi (bius) terancam sanksi pidana.
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago mengatakan, PT Kalbe Farma diduga melakukan kesalahan dalam produksi obat bius Buvanest Spinal. Dalam inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan, Komisi IX menemukan adanya pelabelan produk dilakukan secara manual. Padahal, kata dia, harusnya pelabelan dilakukan secara fabrikasi.
"Katanya labelnya itu dibuat secara fabrikasi tapi ternyata ada yang melihat manual. Tapi ini belum bisa kita ambil keputusan sebab masih menunggu juga investigasi pihak berwajib karena ini masalah pidana, bukan perdata," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (21/3).
Irma melanjutkan, hasil investigasi Komisi IX juga menunjukkan adanya indikasi kelalaian yang dilakukan pihak RS Siloam. Dalam sidak yang dilakukan, ada kejanggalan di ruang operasi dan kurang telitinya dalam mengecek ampul obat. Dan, kata dia, standar pelayanan medis di RS Siloam teradapat potensi human error yang cukup besar.
Selain itu, Irma mengatakan, dia juga merasa aneh ketika Komisi IX ingin bertemu dengan dokter anestesi yang menginjeksikan obat ke pasien yang meninggal. "Tapi sampai kita mau pulang itu tidak dipertemukan, padahal seharusnya dari awal Siloam sudah menghadirkan dokter ini karena dia kan yang jadi subjek," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKI), Marius Widjajarta mengatakan, sebagian besar obat produksi Kalbe Farma yang berbentuk ampul tidak sesuai dengan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Beberapa produknya tidak mencantumkan merek dagang, kadaluwarsa dan produsen obat di bagian belakangnya.
Menurutnya, obat bius Buvanest Spinal dan obat pembeku darah Asam Traneksamat terlihat sama persis bagian belakangnya. "Produknya beda-beda tapi belakangnya sama semua. Kalau salah tempel (label) maka begitu tertukar sudah tidak tahu lagi, ini sangat berbahaya," ujarnya.
Dia menambahkan, meski kedua obat izin edarnya telah dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun masih ditemukan di Jakarta. Hal yang sama dikhawatirkan juga masih terkadi di daerah lain. "Hasil survey kita terakhir Buvanest masih bisa dibeli di Jakarta," kata Marius.