REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui, konflik antara masyarakat adat dengan kalangan pengusaha terkait pemanfaatan hutan merupakan masalah menahun yang belum kunjung ditemui penyelesaiannya. Kementerian pun mengaku masih mendiskusikan solusi agar langkah penyelesaian bisa dipercepat.
“Itu harus dicari solusinya, harus ada win-win solution dan teman-teman kementerian saat ini sedang mencari solusi yang paling baik,” kata Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan KLHK Agus Sarsito pada Senin (23/3).
Diskusi, kata dia, meliputi pertimbangan bahwa masyarakat setempat yang merupakan bagian dari ekosistem hutan harus diuntungkan dan memeroleh areal kerja atas pemanfaatan hutan. Sementara, perusahaan juga tidak dirugikan karena ia telah mengentongi izin legal dan pemiliki dasar hukum pengelolaan hutan.
Ditanya soal usulan pembentukan satuan tugas (satgas) untuk menyelesaikan konflik masyarakat adat dan perusahaan, Agus menyebut bahwa sebenarnya telah banyak unit kerja teknis yang bertanggung jawab menyelesaikan hal tersebut dan seharusnya bisa optimal pekerjaannya. “Kalau dibuat satgas, itu kan untuk mempercepat, tapi kita kan sudah punya unit teknis,” katanya.
Diakuinya, konflik masyarakat adat memang bukanlah isu baru. Sejak dulu konflik muncul akibat didorong oleh rencana Negara yang tengah menggenjot pembangunan, sehingga memerlukan dukungan investasi oleh swasta dalam pemanfaatan sumber daya alam. Namun, sepertinya tidak diperhitungkan dampak di masyarakat adat yang menjadi bagian dari hutan.
Makanya, tegas dia, pemerintahan saat ini tengah mencoba menangani dan menyelesaikannya dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kasus sengketa di Desa Benua Lawas dan Desa Cantung Kiri Hilir Kecamatan Hampang Kabupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan Selatan dengan PT. Jaya Mandiri Sukses (JMS) seperti diberitakan Republika sebelumnya merupakan contoh kecil dari berlarut-larutnya penyelesaian sengketa.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar menekankan agar pengelolaan hutan harus berbasis masyarakat. di mana, pengelolaan hutan rakyat yang tadinya hanya 500-800 ribu hektar saja,saat ini dipetakan agar mencapai 12,7 juta hektar dengan pengelolaan oleh 35 ribu desa. Ketika hal tersebut dilakukan, Menteri berharap perambah hutan liar yang selama ini ditudingkan ke masyarakat sekitar hutan akan hilang, berganti dengan koordinasi untuk saling menjaga hutan.