Ahad 29 Mar 2015 21:22 WIB
Remisi Koruptor

'Belum Tentu Koruptor Jera Jika tak Diberi Remisi'

Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Bidang Pelanggaran HAM, HM Makmun menegaskan wacana unuk merevisi PP Nomor 99 tahun 2012, tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, bukan untuk dan karena ada 'pesanan' dari Parpol atau koruptor.

"Arah kebijakan pemerintah dalam merevisi PP nomor 99 tahun 2012, untuk memperjelas fungsi dan kewenangan antar lembaga negara dalam penegakan hukum. Agar bisa berkoordinasi dengan lebih baik tanpa harus melakukan intervensi," katanya dalam sebuah acara diskusi di Jakarta Selatan, Ahad (29/3).

Ia menjelaskan, dalam proses peradilan pidana khususnya dalam penangan kasus korupsi, dari mulai penyelidikan hingga penyidikan hal itu ditangani oleh tiga institusi penegak hukum, yakni Kepolisian, KPK, dan Kejaksaan. Kemudian pada level penuntutan dilakukan oleh dua lembaga yaitu kejaksaan dan KPK, hingga pada tingkat pengadilan.

"Namun Setelah, putusan hakim maka itu masuk dalam dasar hukumnya adalah UU Pemasarakatan dengan melakukan pembinaan, salah satu agar pembinaan dapat berjalan adalah adanya prinsip reward and punishment," jelasnya.

Ia menilai bahwa semua terpidana, termasuk untuk kasus korupsi berhak mendapatkan remisi. Makmun juga tidak sepakat dengan pemikiran jika pemberian remisi tak akan membuat jera para koruptor.

"Tidak memberikan remisi bukan berarti bisa memberikan efek jera (terhadap terpidana)," tegasnya.

Menurutnya, ketika seseorang yang dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan sama halnya sudah merampas hak kemerdekaannya. Dalam hal ini ada sejumlah hukuman yang dijalani oleh narapidana, pertama kehilangan kebebasan sebagai warga negara, di mana dia tidak bisa menikmati dunia luar.

"Bayangkan, jika anda dalam satu keluarga yang punya fasilitas lengkap namun tidak bisa keluar dalam satu minggu saja, seperti apa rasanya. Begitu juga dengan para narapidana," katanya.

Selain itu, ia juga menilai seorang narapidana tidak dapat menentukan hidupnya sendiri. Misalnya ketika seorang narapidana sakit, maka dia diatur sesuai peraturan lembaga pemasyarakatan (lapas). Kemudian, sang napi tidak bebas memiliki barang selama dipenjara.

"Dan yang paling berat adalah, dia kehilangan dorongan seksual. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam, karena tiga bulan saja tidak memberi nafkah lahir dan batin, istrinya bisa menuntut cerai," tandasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement