REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kepolisian Malaysia menahan 17 orang tersangka militan yang akan melakukan tindakan teroris di Kuala Lumpur. Kepala Kepolisian Malaysia, Inspektur Jenderal Polisi Khalid Abu Bakar mengatakan, 17 orang tersebut ditahan pada Ahad (5/4), kemarin.
"Selamat kepada divisi kontra-terorisme yang semalam telah menangkap 17 orang yang mencoba merencanakan kekerasan di KL, dua di antaranya baru saja kembali dari Suriah," kicau Khalid melalui akun Twitter resminya, @KBAB51, pada Senin (6/4).
Ia mengungkapkan, dua dari mereka diketahui baru saja kembali dari Suriah. Namun, dia tidak memberikan secara detail terkait pernyataan tersebut karena menurutnya, salah satu seorang pejabat polisi akan memberikan pernyataan nanti.
Dengan adanya dugaan tersebut, semakin menambah jumlah pendukung ISIS yang ditangkap di Malaysia. Menurut Khaled, sejak tahun 2014, ada sebanyak 92 orang ditangkap oleh Pemerintahan Malaysia.
Untuk menghindari lebih banyak warga yang terjerumus dalam ISIS, Pemerintah Malaysia tengah berupaya memperketat undang-undang anti-teror. Pihak berwenang juga akan terus memantau media sosial, seperti Facebook dan Twitter, yang kerap digunakan para militan untuk merekrut anggota.
Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak mengatakan, hukum yang lebih kuat diperlukan untuk mengekang para militan. Sebab, militan kini memiliki peralatan dan logistik untuk membangun jaringan ISIS di Malaysia dan kawasan sekitarnya.
Namun, anggota oposisi parlemen Malaysia, Nurul Izzah Anwar mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa undang-undang tersebut bisa disalahgunakan oleh lawan politik. UU tersebut memungkinkan pihak berwenang bisa menahan tersangka tanpa batas dan tanpa pengadilan.
Hal senada diungkapkan Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, Phil Robertson. Menurutnya, RUU anti-terorisme itu seperti zombie.
"Hukum seperti kembali dari makam kasar Internal Security Act yang mendiskreditkan," kata dia.
Adapun usulan lainnya adalah akan meningkatkan hukuman atas tindakan yang berkaitan dengan teror, termasuk hingga 30 tahun penjara bagi mereka yang ditemukan menerima pelatihan terorisme atau instruksi. Usulan UU tersebut rencananya akan diperdebatkan di parlemen pekan ini.