REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson mengatakan bahwa proses perizinan impor sapi di Indonesia yang dibatasi per tiga bulan adalah mekanisme yang menyulitkan eksportir negeri kanguru dan menghambat ketersediaan daging bagi konsumen.
"Proses perizinan impor yang dibatasi per tga bulan terkadang menyulitkan. Oleh karena itu kami sedang membangun kerja sama dengan pemerintah agar produsen sapi di Australia mendapatkan kepastian bahwa produk mereka dapat terjual," kata Grigson pada Kamis (9/4) di Tangerang setelah membuka Pameran Produk dan Pelayanan Peternakan.
Menurut Grigson, perizinan impor yang lebih panjang tidak hanya akan menguntungkan eksportir dan peternak Australia tetapi juga pihak Indonesia, khususnya importir dan konsumen daging."Indonesia kini menghadapi tantangan ketahanan pangan. Persoalan ini terkait erat dengan pasokan yang terjamin (izin impor berdurasi panjang) karena hal tersebut akan membuat konsumen di negara ini mempunyai lebih banyak pilihan dengan harga yang lebih murah," kata dia.
Pada kuartal pertama tahun ini Australia mendapat izin impor sapi sebesar 60 ribu ekor, sementara pada kuartal kedua naik menjadi 250.000 ekor. Di sisi lain kebutuhan daging nasional pada tahun lalu adalah sekitar 757 ribu ton atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Tidak semua kebutuhan tersebut disuplai oleh pembelian sapi hidup dari luar negeri karena Indonesia juga mengimpor dalam bentuk daging dan memproduksi sendiri.
Masih pada 2014, jumlah impor daging sapi dan sapi ekor memenuhi setidaknya 45 persen total kebutuhan nasional. "Saya berkeyakinan bahwa pasar daging di Indonesia akan berkembang setiap tahunnya. Akan lebih banyak warga di negara ini yang mengonsumsi daging. Pada titik inilah mereka membutuhkan suplai yang bisa diandalkan dan pilihan yang lebih banyak agar harga bisa ditekan," tutur Grigson.
Tantangan lain terkait pasokan daging di Indonesia selain proses perizinan impor adalah peningkatan produksi sapi lokal. Kata Grigson, pihaknya telah membantu peternak Indonesia dengan sejumlah program seperti pertukaran pelajar dan pekerja agar masing-masing pihak memahami keunggulan metode peternakan.
"Pameran peternakan di Tangerang ini adalah contoh klasik bagaimana Indonesia dan Australia dapat bekerja sama demi memastikan tersedianya pasokan daging bagi konsumen di negara ini," lanjut Grigson.
Pameran Produk dan Pelayanan Peternakan di Tangerang diikuti oleh 20 perusahaan dari kedua negara yang bergerak di sektor peternakan. Para peserta memamerkan produk serta layanan bagi importir, eksportir dan pembuat kebijakan. Acara tersebut rencananya akan digelar setiap dua tahun sekali jika animo masyarakat tinggi.