Selasa 21 Apr 2015 15:51 WIB

Safiatuddin, Raja Perempuan Pertama di Indonesia

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Ilham
   Sejumlah siswa melakukan tabur bunga ke sejumlah makam pahlawan usai Upacara Ziarah Nasional di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta, Senin (10/11). (Republika/Agung Supriyanto)
Sejumlah siswa melakukan tabur bunga ke sejumlah makam pahlawan usai Upacara Ziarah Nasional di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta, Senin (10/11). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar mengatakan, sebenarnya bangsa Indonesia sudah menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak perempuan sejak dulu. Jadi bangsa ini sudah menghargai perempuan jauh sebelum era Kartini.

Di Aceh pada abad ke 17, seorang perempuan menjadi raja. Ia adalah Safiatuddin yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda. Safiatuddin merupakan perempuan pertama yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam.

Safiatuddin, kata Tiar, pada awalnya dinikahkan dengan seorang pangeran. "Namun suaminya yang harusnya memimpin kesultanan malah wafat terlebih dahulu," ujarnya, Selasa, (21/4).

Akhirnya, Safiatuddin yang harus mempimpin kesultanan tersebut. "Safiatuddin dipilih menjadi raja dengan dukungan para ulama yang melakukan ijtihad pada waktu itu, ini menunjukkan perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki."

Bahkan, setelah memimpin kesultanan, Safiatuddin membuktikan kemampuannya menjadi kepala negara yang baik. Ia adalah negarawan sekaligus diplomat ulung.

Kembali ke buku Habis Gelap Terbitlah Terang, ujar Tiar, tidak bisa dijadikan referensi keadaan perempuan pada masa itu. Terbukti, sudah ada perempuan yang menjadi raja, juga jurnalis.

"Dari buku Habis Gelap Terbitlah terang seolah tak ada wanita Muslim yang berjuang di ruang publik. Padahal, banyak juga wanita Muslim yang berjuang di ruang publik namun kurang diekspos."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement