REPUBLIKA.CO.ID,MATARAM--Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Hendra Nurcahyo mengatakan hak atas asuransi yang seharusnya diterima 144 orang tenaga kerja Indonesia asal Provinsi Nusa Tenggara Barat belum dibayar.
"Kedatangan kami untuk mengklarifikasi laporan itu, batas pencairannya pada Agustus 2015," kata Hendra di Mataram, Rabu, usai mendatangi kantor Lembaga Terpadu Satu Pintu (LTSP).
Dalam pertemuan tersebut, Hendra mengungkapkan, dari 144 TKI itu ada yang telah meninggal atau menderita cacat. Para TKI atau ahli warisnya belum mendapat asuransi dari pihak konsorsium.
"Ini hak mereka, seharusnya setelah mengetahui kejadian yang menimpa para TKI, pihak konsorsium memberikannya," katanya.
Ia berharap para keluarga TKI yang sudah menanggung penderitaan itu malah tidak menerima haknya. Apalagi bagi yang menderita cacat, seharusnya mendapatkan haknya untuk melanjutkan hidup keluarganya."Dalam kasus ini, asuransi harus bertanggung jawab," ujarnya.
Hendra yang didampingi oleh Ombudsman Perwakilan NTB itu akan meminta Dinas Tenaga Kerja atau LTSP menyerahkan rekapitulasi data lengkap para TKI yang telah meninggal dan yang menderita cacat.
Nantinya, kata dia, data tersebut akan dibawa ke pusat untuk ditindaklanjuti dengan memanggil otoritas jasa keuangan (OJK).
Hal itu dilakukan karena OJK bertindak sebagai pengawas asuransi dan diharapkan mendorong penyelesaian dalam pembayarannya.
"Jadi kami main di pusat saja, supaya lebih cepat. Kalau dari daerah lama sekali dorongannya. Kalau dari pusat, kami bisa meminta OJK untuk menekan asuransi, sedangkan kami akan langsung mengawasi OJK," ucapnya.
Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim menambahkan kasus tersebut terungkap setelah mendengar laporan dari keluarga TKI yang datang ke lembaganya.
"Pada dasarnya TKI ini bingung mau kemana mengambil asuransi," ucap Adhar.
Terkait permasalahan itu, Adhar mengaku cukup menyesalkan adanya dua sistem pencairan yang berbeda dalam hal asuransi. Pertama, kata dia, dalam pengurusan dari pihak LTSP, dan kedua dari Konsorsium Asuransi TKI.
"Seharusnya, sistem yang bercabang ini tidak lagi merujuk pada fungsi LTSP yang telah memberikan pelayanan satu atap," ucapnya.
Padahal, kata dia, bentuk pelayanan ganda itu sudah dihilangkan dan dinyatakan dalam peraturan gubernur. Selain masalah itu, ia juga menyampaikan rekomendasi perbaikan dalam pelayanan satu atap di LTSP, khususnya indikasi adanya budaya percaloan.
Dari pihak konsorsium beralasan bahwa mereka hadir jauh sebelum munculnya jumlah 144 TKI tersebut. "Ini kan tanggung jawab BP3TKI, karena waktu itu yang mengurus asuransinya ada di bidang asuransi dan proteksi para TKI," kata Koordinator Konsorsium TKI Bambang SN.