REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta berpegang pada undang-undang (UU) dalam memutuskan dualisme partai politik yang berhak mengikuti Pilkada.
"Ikuti undang-undang. Baik itu UU Pilkada, UU Parpol, UU PTUN, maupun UU Administrasi Pemerintahan," kata Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, Jumat (24/4).
Menurut Syamsuddin, dalam menghadapi masalah dualisme kepengurusan Golkar dan PPP, konsultasi dengan DPR tak bisa dijadikan dasar hukum. "Konsultasi ya sifatnya konsultasi," kata Syamsuddin.
Syamsuddin menambahkan, KPU akan lebih aman dan kebijakannya akan mudah diterima jika tetap mengacu pada UU. Keputusan KPU juga tidak akan berisiko karena memang belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Sebelum berkekuatan hukum tetap, maka KPU pegang UU Parpol. Kan di sana dijelaskan juga ada sikap pemerintah dalam hal ini surat keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pegang saja itu," katanya.
Disinggung tentang konsultasi dengan DPR, Syamsuddin menjelaskan bahwa tidak ada yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dalam membuat keputusan. Justru hal ini membuat kinerja KPU berlarut-larut dan kepuitusan semakin simpang siur.