Sabtu 23 May 2015 13:49 WIB

Perca Tuntut Hak Status Kewarganegaraan Anak Perkawinan Campuran

Rep: C26/ Red: Didi Purwadi
Ketua Dewan Pengawas PerCa, Melva Nababan, berkunjung ke kantor redaksi Republika Online di Jakarta, Jumat (22/5).
Foto: MgROL39
Ketua Dewan Pengawas PerCa, Melva Nababan, berkunjung ke kantor redaksi Republika Online di Jakarta, Jumat (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA) menyisakan banyak kerugian akibat benturan aturan yang berlaku. Bukan hanya untuk pasangan suami-istri, tapi juga bagi buah hati mereka.

Anak-anak hasil perkawinan campuran diatur status kewarganegaraannya dalam UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 pasal 41 dan 42. Namun sekumpulan masyarakat yang memiliki pernikahan dengan warga negara asing(WNA) bergabung dalam aliansi Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia atau biasa disebut PerCa memprotes kebijakan yang tertuang dalam UU tersebut.

PerCa memprotes kebijakan yang menyebutkan mereka yang lahir setelah kebijakan yang keluar pada tahun 2006 itu, mewajibkan anak berusia 18 tahun untuk memilih kewarganegaraan. Ketua Dewan Pengawas PerCa, Melva Nababan, menilai kebijakan ini memiliki masa peralihan hingga empat tahun untuk menentukan memilih ikut warga negara ibu atau ayahnya.

"Revisi UU Kewarganegaraan jadi sorotan utama kami. Banyak hal yang sekiranya jadi terbentur karena aturan ini," kata Melva saat berkunjung ke kantor redaksi Republika Online di Jakarta, Jumat (22/5).

 

Ia mengatakan waktu empat tahun itu dirasa terlalu singkat bagi seorang remaja untuk memilih ikut kewarganegaraan ayah atau ibunya. Mereka meminta perpanjangan waktu untuk masa peralihan kewarganegaraan.

Terlebih tak ada sosialisasi atas kebijakan tersebut. PerCa mewakili komunitasnya menuntut revisi undang-undang kewarganegaraan tersebut.

Banyak masyarakat awam yang dinilainya masih buta hukum sehingga berpotensi menyalahi aturan. Akibat kebijakan ini, juga anak dari perkawinan campuran terancam tidak bisa bekerja di Indonesia karena terkendala kewarganeraan.

Ia juga menyebut beberapa aturan seakan mendiskriminasikan mereka yang menikah dengan WNA. Padahal, statusnya mereka masih menjadi WNI yang seharusnya memiliki hak yang sama dengan WNI lainnya.

"Pemerintah sepertinya terlalu melihat status asing dari pasangan kami, tapi tidak mempedulikan bahwa kami adalah WNI. Kita seolah dianggap sebagai WNA juga," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement