Jumat 29 May 2015 16:15 WIB
Kasus Novel Baswedan

Ini 'Curhat' Novel Baswedan di Sidang Praperadilan

Sidang Perdana. Penyidik KPK Novel Baswedan menjalani sidang perdana praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Sidang Perdana. Penyidik KPK Novel Baswedan menjalani sidang perdana praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan curahan hatinya dalam sidang praperadilan atas penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pada 1 Mei 2015.

Pernyataan Novel yang dibacakan sebagai pengantar dalam permohonan praperadilan tersebut, di antaranya berisi keprihatinannya terhadap penangkapan yang dilakukan pada tengah malam. "Mengapa tengah malam? Telepon saja saya akan datang. Itu kata saya saat menemui tim penyidik yang menangkap saya pada tanggal 1 Mei 2015, sekitar pukul 00.00 WIB," tuturnya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/5).

Bukan hanya rumah yang selalu terbuka, katanya, telepon seluler miliknya juga selalu tersedia dihubungi oleh siapapun. Bahkan sekitar tanggal 29 April ketika seorang penyidik mengirim pesan pendek (BBM) menanyakan kabar dan posisinya ia pun menjawab: "kabar baik, saya sedang tugas di Palembang".

Sebagai seorang penegak hukum yang pernah mengabdi di kepolisian lalu ditugaskan menjadi pegawai tetap KPK, Novel mengaku bahwa ia selalu didoktrin untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya, menegakkan hukum bukan karena kebencian, menegakkan hukum bukan karena dendam, dan menegakkan hukum bukan karena mengejar popularitas.

Ringkasnya, menegakkan hukum semata-mata karena alasan hukum, bukan alasan nonhukum. Ketika hukum ditegakkan dengan alasan lain, lanjutnya, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan dan ketidakprofesionalan.

"Lalu, siapa yang menerima manfaat? Tidak tahu. Yang pasti baik KPK maupun kepolisian tidak menerima manfaat apapun," katanya.

Pria kelahiran Semarang, 38 tahun silam itu juga mengungkapkan kegundahan hatinya atas tindakan aparat negara, dalam hal ini pihak Bareskrim Polri, yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat justru melakukan kebohongan demi kebohongan.

"Salah satu kebohongan yang diucapkan oleh Kabareskrim adalah saya memiliki empat rumah. Seolah-olah saya adalah seorang pegawai negeri yang memiliki harta melimpah," tutur Novel.

Ia mengklaim sudah melakukan klarifikasi bahwa ada dua rumah dengan atas namanya, namun satu rumah lainnya adalah milik ibunya, meskipun tertulis di dalam sertifikat atas namanya. "Sekali lagi saya sampaikan bahwa silakan diambil dua rumah yang saya tidak merasa miliki," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement