REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Satu Padu Lawan Korupsi (Sapu Koruptor) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekaman adanya kriminalisasi terhadap lembaga rasuah tersebut.
Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Masyarakat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alghifari Aqsa mengatakan pada sidang pengujian Undang-Undang (UU) KPK pada 25 Mei 2015 lalu, penyidik KPK Novel Baswedan memberikan kesaksian terkait adanya rekaman yang diperoleh pihaknya.
Alghifari menilai rekaman tersebut diduga menunjukan adanya upaya pelemahan KPK melalui kriminalisasi pimpinan dan pegawainya. "Kami desak MK meminta KPK untuk menghadirkan rekaman adanya kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK yang dilakukan dalam rangka pelemahan KPK," ujar Alghifari di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (7/6).
Alghifari sangat berharap pimpinan KPK koperatif dan membuka rekaman kriminalisasi tersebut di muka persidangan. Dia juga menilai rekaman tersebut harus ditunjukan juga ke masyarakat.
Menurut Alghifari, masyarakat berhak mengetahui apa yang terjadi terhadap pimpinan dan penyidik KPK serta upaya kriminalisasi yang menjerat para pegiat antikorupsi. "MK dan KPK harus bekerja sama untuk menyelamatkan KPK dengan menunjukan bukti adanya kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK," katanya.
Alghifari menambahkan, tidak ada hambatan hukum apapun bagi MK untuk meminta KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi tersebut di persidangan. Ia menjelaskan dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2) PMK 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara pengujian UU disebutkan MK mengenal asas pembuktian 'bebas yang terbatas'.
"Pembuktian dibebankan kepada pemohon, apabila dipandang perlu maka hakim MK dapat pula membebankan pembuktian kepada presiden atau pemerintah, DPR, DPD dan/atau pihat terkait. Dalam konteks ini, MK bisa membebankan pembuktiannya pada KPK," imbuh Alghifari.
Menurut YLBHI, upaya kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman terhadap para pegiat antikorupsi dapat dinilai sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice). Ia menduga hal tersebut pula yang menjadi kunci terkait adanya konflik kepentingan dalam kriminalisasi terhadap para komisioner KPK nonaktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan penyidik KPK Novel Baswedan.