REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah mengajukan nama Letjen (Purn) Sutiyoso sebagai calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru. Namun, pengajuan nama Sutiyoso memicu kontroversi publik.
Direktur eksekutif Imparsial Poengky Indarti menilai pengajuan Sutiyoso sebagai Kepala BIN merupakan kemunduran. Poengky juga sangat menyanyangkan pengajuan nama yang dilakukan oleh Jokowi. "Sutiyoso tidak layak jadi Kepala BIN," tegas Poengky di kantor Imparsial, Tebet, Kamis (11/6).
Walau pemilihan Kepala BIN merupakan hak prerogatif Presiden, Poengky menilai Jokowi harus mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengajukan nama ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, posisi Kepala BIN sangat strategis dan akan menentukan kiprah institusi tersebut ke depan.
"Presiden juga harus memberikan kesempatan bagi publik untuk mempertimbangkan calon Kepala BIN yang baru," kata Poengky.
Menurut Poengky, pemilihan KaBIN bukan hanya sekedar aspek kompetensi dan kemampuan yang memadai. Tetapi juga harus memiliki track record yang baik terutama komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan antikorupsi.
"Calon yang memiliki catatan buruk dalam masalah HAM tidak layak dicalonkan oleh Presiden untuk menjadi Kepala BIN," ujar Poengky.
Imparsial juga menilai pengajuan nama Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN tidak didasarkan atas ukuran yang objektif. Selain itu pengajuan tersebut juga mengabaikan pandangan dan penilaian publik. Pengajuan Sutiyoso juga dikhawatirkan akan membuat BIN menjadi sebuah institusi yang politis.
"Sutiyoso kini menjabat sebagai ketua partai dan ia sudah lama menjadi politisi. Kemampuan intelijennya pun sudah berkurang," imbuh Poengky.
Poengky berharap DPR dapat meminta Presiden untuk mengajukan nama lainnya. Ia juga mengimbau kepada DPR untuk memberikan masukan yang baik kepada Presiden untuk memilih KaBIN yang baru.