REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan nama Letjen (Purn) Sutiyoso sebagai calon KaBIN menuai kontroversi. Imparsial melihat ada lima catatan penting yang mendasari tidak layaknya Sutiyoso sebagai KaBIN yang baru.
"Ada lima catatan penting yang harus menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo dalam pengajuan Sutiyoso," kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (11/6).
Pertama, Poengky mengatakan Sutiyoso memiliki track record buruk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti kasus Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kuda Tuli) saat ia menjadi Panglima Kodam Jaya.
"Kita lihat saat peristiwa 27 Juli penyerangan kantor PDIP di Jakarta, terdapat dugaan pelanggaran HAM saat itu," kata Poengky.
Kedua, ketika Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Poengky mengatakan Sutiyoso dikenal sebagai gubernur "tukang gusur" rumah warga Jakarta.
Ketiga, Sutiyoso masih memiliki track record orde baru. Imparsial menilai Sutiyoso masih memiliki reprensif cara mantan Presiden Soeharto.
"Kami khawatir aparat intel kita akan kembali lagi ke jaman orde baru," ujar Poengky.
Keempat, Sutiyoso kini menjabat sebagai ketua partai PKPI. Poengky khawatir nantinya BIN menjadi institusi politik karena dipimpin oleh politisi.
"Dia adalah ketua parpol dan rentan untuk dipolitisasi," imbuh Poengky.
Terakhir, Sutiyoso terlalu tua untuk menjadi KaBIN. Poengky menilai seharusnya KaBIN yang baru lebih muda. Pasalnya, ia akan menjadi mata dan telinga Presiden.
"Kinerjanya pun harus lebih dari Presiden," tutup Poengky.
Namun, sayangnya catatan ini justru diabaikan oleh Presiden Jokowi dengan tetap diajukannya Sutiyoso sebagai KaBIN yang baru. Hal ini menunjukan rendahnya komitmen Presiden dalam masalah HAM dan juga tidak memiliki sensitifitas terhadap para korban pelanggaran HAM.