REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi kekerasan terhadap anak angkat cenderung lebih rentan dibandingkan anak kandung. Psikiater Prof Dadang Hawari mengemukakan, penting untuk memastikan proses pengangkatan anak dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.
“Tentu lain, hubungan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat. Kita perlu menyelidikinya dari latar belakang dan proses pengangkatan anak tersebut,” ujar Prof Dadang Hawari kepada Republika, Jumat malam (12/5).
Prof Dadang menambahkan, ada beberapa hal yang mempengaruhi hubungan anak dengan orang tua angkat. Pertama, apakah orang tua angkat ini mengadopsinya dari kecil atau sudah agak besar. Selanjutnya, pengadopsian anak angkat ini kemauan siapa, apakah kemauan salah satu orang tua angkat ataukah kesepakatan berdua.
Menurut Prof Dadang Hawari, penting untuk memastikan proses pengadopsian anak angkat dilakukan atas kesepakatan suami-istri. Harus ada niat dan kesepakatan antara kedua belah pihak untuk menjaga hak-hak anak di masa yang akan datang.
Menanggapi kasus Angelina, Prof Dadang menilai masih banyak kemungkinan terbuka. Riwayat anak sampai diangkat dan alasan orang tua kandung memberikan anaknya kepada orang lain perlu diselidiki. Selain itu, perlu dipastikan ada tidaknya surat adopsi, serta bagaimana kedudukan adopsi.
“Kalau menurut Islam, orang tua angkat seharusnya memperlakukan anak angkat sebagaimana anak sendiri. Hanya saja, dalam hak waris tidak dapat,” ujar psikiater alumni UI tersebut.
Ia menambahkan, semua kemungkinan kekerasan terhadap anak, baik anak kandung maupun anak angkat ada. Tapi, anak angkat atau anak tiri lebih rawan terhadap anak kandung.