REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peredaran narkoba di Indonesia kian merebak luas. Bahkan, tidak sedikit aparat negara yang diam-diam terlibat dengan menjadi bagian dari sindikat pengedar barang haram itu.
Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menilai pemerintah belum cukup tegas dalam memerangi pengedar narkoba.
"Pemerintah kita masih belum mempunyai tingkat militansi yang tinggi. Belum mempunyai komitmen moral yang tinggi," ujar Henry Yosodiningrat, Jumat (26/6), saat dihubungi wartawan.
Hal ini lantaran pemerintah belum menyeluruh dan sistematis dalam memberantas peredaran narkoba. Kendati demikian, lanjut Henry, ada sejumlah langkah kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi.
Misalnya, Henry menyebutkan, pelaksanaan hukuman mati bagi para bandar narkoba. Pemerintah dinilai berani, meskipun di tengah tekanan berbagai pihak dari dalam dan luar negeri yang meragukan efektivitas hukuman mati.
"Hukumannya sudah bagus. Sikap pemerintah sudah cukup bagus," kata dia.
Namun, kinerja pemerintah dinilai masih setengah hati untuk menindak tegas aparat yang memberi ruang bagi pengedar narkoba. Satu contohnya, kata Henry, kasus Freddy Budiman.
Ketika bandar narkoba berhasil membentuk jaringan yang kuat di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), yang kerap disinggung hanya beberapa person aparat, bukan keseluruhan lembaga negara itu.
"Selalu lagi itu menyebutnya oknum. Kalau sudah banyak orang, ya bukan oknum lagi dong. Sebagian sindikat (pengedar narkoba) sudah masuk ke semua institusi," tegasnya.
Oleh karena itu, Henry meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera memberi tenggat waktu bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk membersihkan semua lembaga di bawahnya dari sindikat narkoba. Antara lain, dengan segera memecat kepala-kepala lapas yang bermain mata dengan bandar narkoba.
"Ya Presiden segera perintahkan Menteri Hukum dan HAM, pecat itu orang (kepala lapas yang terindikasi). Menteri Hukum dan HAM juga dikasih semacam cambuk," kata Henry.
Yang dimaksud cambuk, lanjut Henry, tidak lain teguran hingga ancaman pemecatan Menkum HAM dari jabatannya. Demikian pula terhadap institusi Kejaksaan Agung apabila masih terkesan menunda pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus narkoba.
Hal ini, jelas Henry, agar semua pembantu Presiden berkomitmen nyata bagi pembersihan semua institusi negara dari narkoba.
"You (Menkum HAM) kalau enggak melakukan pembersihan dalam waktu sekian lama, masih ada di LP seperti itu, you saya (Presiden) ganti. Kan begitu. Juga Jaksa Agung. Kalau Anda lambat prosesnya, bisa saya ganti. Apa yang dikatakan Presiden sudah tepat, sudah benar, itu. Tinggal bagaimana pelaksanaannya," jelasnya.