Kamis 02 Jul 2015 04:19 WIB

Kewenangan Polri Menerbitkan SIM dan STNK Digugat ke MK

Rep: C14/ Red: Erik Purnama Putra
Penyidik menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Penyidik menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri (Koreksi) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta pada Rabu (1/7). Mereka mendaftarkan gugatan uji materi atas UU No 2/2002 tentang Kepolisian dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Juru bicara Koreksi Julius Ibrani menuturkan, pihaknya menggugat kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM dan STNK. Sebab, kata Julius, kewenangan itu tidak sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Julius menambahkan, fungsi esensial Polri ialah menegakkan hukum, bukan fungsi birokratis semisal menerbitkan SIM dan STNK. Dengan mempertahankan kewenangan birokratis itu, lanjut Julius, Polri justru mengalami inefisiensi lantaran kelebihan kewenangan.

"Sekarang itu zamannya penyederhanaan, unifikasi, tapi efisiensi dan efektivitas fungsinya harus jalan. Nah, maksudnya adalah itu," ucap Julius Ibrani di gedung MK.

Julius menolak bahwa gugatan uji materiil ini seakan berupaya mempreteli kewenangan yang ada di dalam tubuh Polri. Alih-alih demikian, lanjut Julius, dengan bersesuaian dengan amanat konstitusi, posisi Polri justru kian kuat.

"Kita menguatkan posisi Polri supaya tidak sibuk di hal yang lain. Fokus pada penegakan hukum," ucap Julius.

Apalagi, lanjut dia, bila dilihat dari pos alokasi jumlah aparat di Polri. Pos yang paling banyak aparatnya justru bukan pada tugas inti Polri, semisal di Resor Kriminal (Reskrim). Hal itu mengindikasikan Polri kurang fokus.

"Kita mau yang di hal-hal yang lain, yang bukan tugas intinya, itu dipindahkan. Kita menjaga Polri agar tetap on track," sebut Julius.

Tidak hanya itu, selama ini terkait urusan penerbitan SIM dan STNK masyarakat sering mengalami kerumitan birokrasi. Bahkan, tegas Julius, sempat mencuat kasus Simulator SIM yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Ini, ujar Julius, menandakan ada potensi korupsi yang besar di dalam tubuh Korlantas Polri, yang kemudian di antaranya berhasil disidik KPK.

Maka, urgen memisahkan fungsi birokratis, semisal penerbitan SIM dan STNK, dari kewenangan Polri. Julius menambahkan, pemisahan demikian sejalan dengan cita-cita Reformasi, yakni sejak Polri dipisahkan dari ABRI (militer).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement