Sabtu 18 Jul 2015 16:54 WIB

Penyerangan Tolikara, Ini Sikap Maarif Institute

Simulasi penanganan kerusuhan massa.   (ilustrasi)
Foto: dok. Republika/Adhi Wicaksono
Simulasi penanganan kerusuhan massa. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq mengatakan aksi penyerangan terhadap umat Islam yang sedang menjalankan Shalat Id pada Jumat (17/7) pagi di Tolikara, Papua, menodai suasana kerukunan umat beragama.

"Adanya keterlibatan Gereja Injili Di Indonesia (DIGI) dalam tindakan brutal tersebut sangat disesalkan," kata Fajar di Jakarta, Sabtu (18/7).

Dia mengatakan, indikasi ini dihubungkan dengan keberadaan surat tanggal 11 Juli 2015 yang dikeluarkan Badan Pekerja Wilayah Toli DIGI. Isinya melarang umat Islam merayakan Idul Fitri pada tanggal 17 Juli. Fajar mengatakan ada beberapa hal mendesak terkait insiden itu.

Pertama, pihak kepolisian harus mengusut kebenaran surat yang dikeluarkan oleh DIGI. Surat ini dapat dianggap sebagai bentuk ancaman bahkan teror terhadap eksistensi kelompok-kelompok keagamaan lain di wilayah Tolikara. Pihak kepolisian harus segera menangkap dan mengusut motif dan aktor dibalik aksi penyerangan.

Hal ini, kata dia, agar tidak berlarut-larut yang bisa menimbulkan opini liar di masyarakat. Pembiaran terhadap kesewenang-wenangan kelompok nonnegara yang melarang kebebasan beribadah merupakan ancaman serius.

Kedua, masih kata dia, pemerintah harus menerapkan kebijakan sistematis dalam mengelola kemajemukan di bumi Papua. Semakin derasnya arus migrasi ke Papua membuat lebarnya pintu masuk paham-paham keagamaan yang mungkin tidak menjunjung tinggi semangat perbedaan.

Menurut dia, isu Kristen versus Islam menjadi sangat rentan, terlebih jika disulut kesenjangan ekonomi. Pernyataan surat DIGI itu mengirimkan pesan yang sangat jelas, kelompok ini tidak mentolerir keberadaan kelompok agama lain bahkan gereja di luar denominasinya.

Ketiga, organisasi keagamaan Kristen moderat bersikap proaktif membuka komunikasi dengan kelompok-kelompok Islam guna mencegah salah paham.

Mereka harus memberikan informasi mengenai dinamika kelompok-kelompok Kristen yang sebenarnya tidak monolitik. Jangan sampai, kata dia, masyarakat terseret opini yang mengeneralisasikan benturan kelompok-kelompok ekstrem dari masing-masing agama yang jumlahnya kecil.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement