Senin 20 Jul 2015 17:17 WIB
Pembakaran Masjid

DPR: Tidak Wajar Ormas Keluarkan Larangan Ibadah

Rep: C26/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay memberikan pernyataan kepada wartawan seputar penurunan Biaya Pemberangkatan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2015 di DPR, Jakarta, Rabu (22/4).(Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay memberikan pernyataan kepada wartawan seputar penurunan Biaya Pemberangkatan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2015 di DPR, Jakarta, Rabu (22/4).(Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredarnya aturan yang dikeluarkan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) terkait ibadah salat Idul Fitri yang dilakukan umat Muslim di Tolikara dinilai tidak wajar dikeluarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas). Pasalnya sudah ada aturan tentang agama yang diatur dalam landasan hukum Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menilai justru seharusnya masyarakat, tak hanya di Tolikara, harus menaati aturan yang sudah ditetapkan di Indonesia. Apalagi negara sudah memberikan kebebasan untuk memeluk agama apapun sesuai dengan keyakinan masing-masing.

"Saya kira, surat pelarangan itu tidak wajar dikeluarkan. Apalagi yang mengeluarkan adalah ormas yang harusnya taat pada Undang-undang yang menjamin kebebasan beragam," kata Saleh lewat pesan singkatnya kepada ROL, Senin (20/7).

Menurutnya, jika setiap ormas bisa mengeluarkan surat seperti itu tentu memberikan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Justru ini bisa membuat carut-marut hubungan sosial di Indonesia.

Ia menambahkan, seharusnya banyak solusi jika ada sekelompok umat yang merasa terganggu dengan kegiatan ibadah yang dilakukan pemeluk agama lain. Bukan kemudian dengan cara kekerasan seperti yang terjadi di sana. Mereka harusnya melakukan dialog terlebih dahulu dengan pihak terkait, tidak kemudian langsung melarang dengan surat edaran. Pemerintah bisa dilibatkan sebagai fasilitator untuk menemukan jalan tengah agar kedua pihak tidak merasa dirugikan.

"Saya tidak bisa membayangkan, kalau umat mayoritas mengeluarkan larangan pada umat minoritas. Sementara, ada UU yang menjamin kebebasan beragama. Kalaupun seandainya terganggu, yang perlu dilakukan adalah dialog, bukan langsung melarang. Dalam urusan seperti ini, mestinya pemerintah dilibatkan sebagai fasilitator."

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement