REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mempertanyakan tujuan dan fungsi tim pemantau pemutaran kaset-kaset masjid. Persoalan speaker dan kaset rekaman bisa diselesaikan lewat komunikasi yang baik dengan pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI).
“Statemen Pak JK akhir-akhir ini agak mengundang banyak tanda tanya. Misalnya, ketika ada masalah Tolikara, kemudian dia menyebut karena speaker,” kata Abdul Muthi kepada Republika, Kamis (23/7).
Abdul Mu'timempertanyakan tujuan dan fungsi memantau pemutaran kaset-kaset masjid tersebut. Menurut dia, pernyataan-pernyataan JK tentang speaker ini membuat umat Islam senantiasa dicurigai. Dalam kasus Tolikara pun, Mu'ti menilai permasalahannya bukan pada speaker.
Dia menambahkan kalau dikaitkan dengan adanya reaksi keras dari masyarakat, masalahnya bukan pada speaker. Mungkin saja ada persoalan menyangkut pengeras suara, Muthi memandang, faktornya lebih pada keberadaan kelompok-kelompok yang intoleran terhadap dakwah Islam. Analisis serupa diterapkan dalam kasus Tolikara.
Menurut Mu'ti, persoalan speaker itu bisa dibicarakan di internal DMI. Alih-alih terus mencurigai umat Islam, DMI harusnya mengumpulkan pengurus-pengurus masjid, kemudian melakukan komunikasi yang baik.
Mut'i melanjutkan, pemerintah juga tidak bisa menerapkan sanksi apapun kalau ada pengurus masjid yang melanggar. Terlalu berlebihan kalau ada orang dikenai sanksi lantaran speaker. Ia menyatakan, kalaupun speaker masjid menimbulkan polusi suara, acara-acara hajatan yang memperdengarkan musik sepanjang malam itu lebih prioritas untuk ditertibkan.
“Banyak faktor yang membuat persoalan dakwah menjadi tidak kondusif, bukan persoalan speaker semata-mata. Kalau speaker itu disoal, nanti lonceng gereja itu disoal tidak?” kata Mu'ti.
Pada Senin (22/7), juru bicara JK, Husain Abdullah menyebutkan bosany akan membentuk tim pemantau pemutaran kaset-kaset pengajian di masjid. JK bermaksud menghimpun fakta di lapangan untuk mengukur tingkat kebisingan suara kaset pengajian.