REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR RI menyebutkan format Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama yang dirancang oleh pemerintah masih belum jelas.
Anggota komisi VIII DPR, Maman Imanulhaq, mengatakan dari bocoran naskah akademik yang diperoleh DPR, isi dari RUU ini masih belum mampu mencegah konflik atas nama agama dan keyakinan. Selain itu, RUU ini belum menjadikan kerukunan antar-umat beragama sebagai prioritas.
"Rancangan undang-undang ini baru mengatur definisi agama resmi. Belum mencakup semua keyakinan, padahal kita berharap RUU PUB melindungi semua keyakinan,'' ujar Maman.
Ia menilai, RUU PUB ini juga masih copas (copy paste) peraturan sebelumnya yakni SKB tiga menteri dan PNPS. ''Seharusnya RUU ini lebih operasional dan aplikatif," ujar Maman.
Menurut dia, RUU PUB harus mampu mengakomodasi hak-hak konstitusi warga negara yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945, sehingga RUU ini dapat menjadi payung besar dalam terciptanya toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan beragama.
RUU PUB tidak perlu mengatur pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan kejahatan atas nama agama. Pemberian sanksi biarlah menjadi ranah aparat penegak hukum.
''RUU PUB cukup mengatur mekanisme dalam hubungan internal dan antarumat agama dalam konteks negara dan nilai-nilai kemanusiaan,'' jelasnya.
Pemerintah harus segera melakukan diskusi dengan LSM, akademisi dan pihak terkait lainnya agar format RUU ini menjadi ideal dan siap diserahkan ke DPR untuk kemudian dibahas agar disahkan menjadi undang-undang, mengingat hingga saat ini pemerintah selalu mengelak setiap ditanyai mengenai naskah akademik dari RUU PUB.
Maman mengaku prihatin dengan kasus Tolikara. Dampak pembakaran sejumlah kios dan mushalla telah menyebabkan sekitar 150 Muslim mengungsi di halaman Koramil setempat sejak Idul Fitri lalu.
"Jadi, jika melihat kondisi kini, kehadiran UU-PUB kini makin dirasakan sangat penting," kata anggota dari jajaran kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) itu.