REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Sungai Cipamingkis sebagai sungai terbesar di Cibarusah yang berada tidak jauh dari kantor Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi mulai mengering. Dari jembatan yang membentang di atas sungai tersebut tampak seorang warga mencuci baju dengan sisa air yang dalamnya hanya sejengkal.
Tidak hanya sungai, tanah di area persawahan pun pecah-pecah. Masa panen telah usai dan padi-padi sudah dipotong sehingga pecahan tanah di petak sawah tersebut tampak jelas dengan lubang-lubangnya yang lebar.
Musim kemarau yang melanda Kecamatan Cibarusah tersebut membuat warga kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan untuk kebutuhan Mandi Cuci Kakus (MCK) para warga harus membeli.
Akibat kekeringan ini, seorang warga Kampung Gempol 2 Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten bekasi, Didi (42) akhirnya harus menjual air bersih itu. Ia mengatakan, dalam sehari ia bisa menjual 100 jeriken per hari, namun ia menjualnya tampa menghitung untung, ia hanya butuh bantuan warga untuk memenuhi kebutuhan listriknya, sedangkan untuk menafkahi keluarganya ia bekerja di toko material.
"Saya menggunakan Jet Pump, jadi hanya untuk kebutuhan listrik, karena pada dasarnya kebutuhan air kan kebutuhan bersama mas," katanya kepada Republika, Selasa (28/7).
Didi mengerti betul cara hidup berdampingan dan membantu satu sama lain antar warga yang sama-sama mengalami kekeringan. "Kasihan juga mas, tapi ini sudah menjadi musibah tahunan yang belum ada solusinya," katanya sambil mengisikan air pada jeriken.
Awalnya, ia hanya menggunakan air dari sumurnya itu untuk kebutuhan keluarganya saja, tapi karena melihat kondisi warga yang kesulitan mencari air juga, baru ia menjualnya. Di rumahnya, ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. "Kasian sama orang, terus kita jual," singkatnya.
Didi menjual air hanya Rp 1.000 per jeriken, sedangkan di dalam jeriken itu berisi 20 liter air. Menurutnya, rata-rata warga membeli 4 jeriken dalam sehari. "Kebanyakan warga mengangkutnya dengan motor, ada juga yang mengangkut dengan gerobak air," jelasnya.
Di depan rumahnya yang bercat campuran orange dan biru tersebut, berjejer sekitar 12 jeriken milik warga yang diantrikan, sedangkan jeriken miliknya sendiri masih dipinjam warga. Setelah Didi selesai mengisikan sejumlah jeriken itu baru kemudian warga mengambilnya.
Di samping kiri rumahnya terdapat sebuah warung berukuran 4x4 meter. Warung tersebut sudah tidak dipakai lagi, di sanalah ia menaruh jet pump miliknya karena takut dicuri orang. Jet pump itulah yang selama ini digunakan untuk menyedot air di sumur yang dalamnya mencapai 67 meter itu. "Milik warga biasanya hanya 45 meter, tapi kalau segitu sudah nggak kuat ngangkat airnya," ujarnya.
Didi mengaku, sejak dibangunnya sumur itu pada tahun 2012, ketika terjadi kekeringan warga selalu mengandalkannya. Dalam membuat sumurnya itu, ia sendiri mengahabiskan Rp 12 juta. "Kalau sekarang untuk membuatnya sedalam itu paling Rp 15 juta mas," jelasnya.
Sementara itu, salah satu warga yang membeli air, Acep (40) tampak membawa 4 jeriken dengan membawa gerobak air yang memang cukup untuk 4 jeriken. Ia mengisi jeriken itu satu per satu sendiri. Ia mengaku hanya menghabiskan 4 jeriken dalam sehari, karena di rumahnya ia hanya tinggal bersama istri dan ketiga anaknya.
"Ini untuk mandi, cuci piring dan cuci baju mas, kalau untuk minum pakai air galon yang harganya Rp 5.000," katanya.
Acep menggunakan gerobak air karena memang rumahnya berada tidak jauh dari tempat jual air bersih itu. Rumah Acep hanya berjarak 500 meter dari rumah Didi yang terletak di pinggir jalan itu.
Menurutnya, kekeringan di daerah Cibarusah sudah berlangsung 3 bulan terakhir ini, yang terjadi sejak bulan Mei. "Mungkin ini berakhir pada bulan September mas, biasanya gitu," ujarnya sambil mendorong gerobak airnya, dan salah satu anaknya menaiki di atas gerobak itu.