REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Para penggawa PSS Sleman akhirnya menuntut keadilan atas hukuman seumur hidup lantaran kasus sepak bola gajah, Oktober tahun lalu. Menurut mereka, hukuman tersebut tidak dijatuhkan pada orang yang tepat. Selain itu banyak hal ditutup-tutupi dalam sidang Komisi Disiplin (Komdis).
"Saya di sini untuk meminta keadilan. Posisi kami sebagai korban," tutur salah satu pemain PSS Sleman yang enggan disebut namanya pada agenda Kupas Tuntas Kasus Sepak Bola Gajah antara PSIS Semarang dan PSS Sleman, Rabu (28/7).
Ia menuturkan bahwa perintah mencetak gol bunuh diri berasal dari Rumadi dan Suparji (Tim manajemen PSS Sleman). "Itu intruksi dari Pka Rumadi dan Pa Parji langsung pada saya," ujarnya.
Pemain lain bernama Satrio membenarkan hal tersebut. Bahkan menurutnya salah satu tim manajemen, Edi Broto ikut memberikan intruksi yang sama.
"Pa Edi sempat bilang, sekarang main fight saja. Tapi yang dimaksud, ternyata fight untuk kalah," ujarnya pada acara yang diselenggarakan di Hotel Merbabu, Seturan, Sleman, DIY itu.
Satrio menyampaikan, Suparji dan Rumadi sempat meminta para pemain untuk kalah tanding. Dengan iming-iming mendapat promosi bisa masuk ke ISL. Ia pun menyampaikan, sebelum menghadap Komdis ada arahan terlebih dulu untuk memberi kesaksian yang berbeda dari kejadian sebenarnya.
Di antaranya, mereka diminta bersaksi bahwa salah seorang tim manajemen yang ada di lapangan tidak ada di tempat. Menurut pemain lain bernama Ridwan, orang yang memberikan arahan untuk menyampaikan keterangan tersebut adalah Rumadi. Ridwan sendiri mengaku menyampaikan semua tuntutan ini karena merasakan kekecewaan atas hukuman dan janji manajemen yang tidak direalisasikan.
"Dulu kami disuruh bersaksi di Komdis, dengan jaminan masih berada di PSS Sleman," katanya. Namun pada kenyataannya sejumlah pemain diberi sanksi larangan bertanding minimal satu tahun, dan paling lama seumur hidup.