REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pencari Fakta (TPF) Komite Umat (Komat) untuk Tolikara bersama Komnas HAM sepakat mengatakan Perda di Tolikara yang diberlakukan sejak 2013 adalah tindakan intoleran. Perda tersebut merupakan pelarangan umat beragama untuk beribadah.
"TPF Komat Tolikara dan Komnas HAM menilai jika Perda intoleran di Tolikara tersebut tidak segera dicabut, maka pelanggaran kebebasan beragama (intoleransi) di Tolikara akan dinilai sebagai sesuatu yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur," kata Ketua Komat Ustadz Bachtiar Nasir kepada ROL, Jumat (7/8)
Ustad Bachtiar menjelaskan, isi perda tersebut yakni melarang agama lain diluar GIDI tidak boleh membangun rumah ibadah, tidak boleh melaksanakan perayaan hari raya, dan pemakaian atribut keagamaan (jilbab) di muka umum.
Sebelumnya, diberitakan Tim Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membeberkan temuannya terkait peraturan daerah intoleran di Kabupaten Tolikara, Papua.
"Perda itu kata Bupati Tolikara yang sempat kami mintai keterangannnya, ia tandatangani pada tahun 2013," kata Komisioner HAM Manager Nasution yang ditunjuk sebagai Ketua TPF Insiden Tolikara, Kamis (6/8).
Hal itu disampaikan kepada Komite Umat (Komat) untuk Tolikara saat menyambangi kantornya untuk melaporkan pelanggaran HAM yang dilakukan Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
Komnas HAM mengungkapkan, Perda intoleran tersebut telah ditandatangani Bupati dan disetujui DPRD Tolikara. Isinya melarang umat beragama lain, selain GIDI menjalankan agamanya secara bebas, seperti melarang pemakaian jilbab di muka umum, melarang pembangunan rumah ibadah lain, termasuk gereja non-GIDI dan pembangunan masjid.
Meski begitu, lanjut Manager, Bupati Tolikara berjanji akan mengirimkan bukti fisik Perda yang dinilai diskriminatif tersebut ke Komnas HAM dan Mendagri.
"Karena ternyata Mendagri juga belum mendapat tembusan Perda tersebut," kata Manager.