REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Mantan ibu negara rezim Khmer Merah Kamboja meninggal dunia pada Sabtu (22/8). Hal tersebut diungkapkan pengadilan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ieng Thirith, tokoh revolusi lulusan universitas di Prancis dan berusia 83 tahun ketika menghembuskan napas terakhirnya, merupakan salah satu dari perempuan-perempuan yang berada dalam kepemimpinan gerakan komunis di balik era "Killing Fields (Ladang Pembantaian)".
Ieng menjadi salah satu dari sejumlah tersangka yang didakwa oleh pengadilan kejahatan dukungan PBB. Ia dibebaskan pada 2012 ketika kasusnya ditangguhkan setelah pengadilan menetapkan ia tidak layak dihadapkan ke persidangan karena mengalami demensia (penurunan fungsional karena kelainan pada otak) secara terus-menerus.
Hubungan keluarga membawanya ke tingkat kekuasaan lebih tinggi pada rezim totaliter kejam, yang memisahkan anak-anak dari para orang tua mereka dan suami-suami dari istri-istri mereka.
Ieng, yang merupakan saudari ipar mendiang pemimpin Khmer Merah Pol Pot, menjabat sebagai menteri urusan sosial pemerintahan rezim. Sementara suaminya, Ieng Sary merupakan mantan menteri luar negeri.
Pada suatu ketika tahun ini, ia menjalani perawatan di rumah sakit di Thailand karena masalah jantung, kantung kemih dan paru-paru. Pada akhirnya, ia meninggal di bekas benteng Khmer Merah di perbatasan dengan Thailand, tempat banyak pemimpin rezim tinggal setelah mereka digulingkan oleh Vietnam.
"Terdakwa menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 10.30 pada 22 Agustus di Pailin, Kamboja," kata pengadilan dukungan PBB dalam sebuah pernyataan.
"Ia dibebaskan di bawah ketetapan pengawasan pengadilan. Ia tetap berada di bawah pengawasan pengadilan sampai meninggal," tambah pernyataan dari Kamar Luar Biasa Pengadilan Kamboja (ECCC).
Penangguhan kasus Ieng Thirith merupakan pukulan pahit bagi banyak orang yang selamat selama keberadaan pemerintah. Rezim itu sendiri dituding bertanggung jawab atas hilangnya nyawa sekitar dua juta orang. Namun, dakwaan yang dikenakan padanya, yaitu kejahatan perang, pembersihan etnis serta kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak pernah digugurkan.
Suaminya, Ieng Sary, meninggal pada 2013 dalam usia 87 tahun sebelum putusan hakim dijatuhkan terhadapnya. Ieng Thirith menempuh pendidikan di universitas di Paris, tempat ia mengambil studi Shakespeare dan menjadi orang pertama Kamboja yang mendapatkan gelar sastra Inggris. Di kota itu juga, ia menikah dengan Ieng Sary, yang memberinya empat anak.