REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama merelokasi kawasan pemukiman Kampung Pulo, Jakarta Timur menuai banyak kontroversi. Tak sedikit yang mendukung, namun banyak juga yang mengecam kebijakan tersebut.
Sejarawan JJ Rizal pada Kamis (20/8) menyatakan sikap gubernur Ahok dalam penertiban warga itu tidak konsisten. Menurut Rizal, bila konsisten dalam menggusur lahan hijau atau resapan air, Ahok juga harus berani menggusur lingkungan rumahnya di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Kawasan Pantai Mutiara merupakan kawasan 860 hektare yang diperuntukkan bagi hutan bakau dan resapan.
"Tapi Ahok kok malah belaga enggak tahu dan enggak berdosa tinggal di sana," ujar Rizal dalam twitter-nya @JJRizal.
Menanggapi itu, Ahok menyebut Rizal tidak mengerti apa-apa. Termasuk soal wilayah Pluit yang dimaksud. "Dia goblok, isu itu tuh adanya di Pantai Indah Kapuk (PIK). Dia nggak bisa bedain PIK dan Pluit," kata Ahok, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (21/8).
Ahok menyebut antara PIK dan Pluit berbeda jauh. Lokasi rumahnya di sekitar Muara Angke, Muara Baru yang bukan termasuk wilayah resapan air yang disebutkan Rizal. Ia bahkan menawarkan Rizal belajar dengannya soal wilayah Pluit. "Makanya kalau mau nanya Pluit tanya gua biar agak pinter, jelas. Kasihan kalau terlalu goblok," sindirnya.
Sikap berbeda ditunjukan Ahok ketika menanggapi kritikan putra mantan Presiden Indonesia kedua, Tommy Soeharto. Melalui akun twitternya @Tommy_Soeharto1, Tommy mengingatkan Gubernur Ahok adalah pemimpin Jakarta, bukan tukang gusur masyarakat Ibu Kota.
"Ingat DKI itu milik Rakyat bukan milik pemerintah. Pemerintahan DKI ada karena Rakyat yang memilih orang2 yang akan duduk di kursi pemerintahan.."
Ahok memilih tidak menanggapi komentar Tommy. Ia menyebut biar masyarakat yang bisa menilai manfaat ke depannya bagi sungai Ciliwung. "Saya no comment, biar entar yang nilai saja. Karena ini proses udah kami lakukan sejak 2013," ujarnya di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Ahad (23/8).
Menurut Ahok, relokasi tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan dalam upaya negosiasi dengan warga yang mendiami bantaran sungai. Mereka meminta tidak diberikan rumah susun sebagai pengganti yang letaknya jauh dari rumah awalnya.
Keinginan warga, ujarnya, sudah dipenuhi dengan membangun rusunawa di wilayah Jatinegara Barat yang letaknya berdekatan dengan rumah sebelumnya. Untuk membangun rusunawa tersebut, ia mengklaim sudah mengorbankan Kantor Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Timur.
Ia mengaku keputusannya tersebut sudah tepat. Pasalnya, jika tidak segera direlokasi, Ciliwung justru akan semakin kumuh. Padahal, awalnya sungai yang identik dengan banjirnya Jakarta tersebut tidak seperti saat ini.
Mantan Bupati Belitung Timur ini menyebut kedatangan pendatang menjadi salah satu penyebab sungai sering meluap. Kedatangan orang dari luar Jakarta dimanfaatkan oknum-oknum untuk menjual rumah-rumah semi permanen di bantaran sungai.
"Ternyata di pinggir sungai itu adalah oknum RT RW yang menjual dulu. Itu adalah pendatang yang dengan sengaja mereklamasi sungai ciliwung," sebutnya.