REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mendukung pernyataan peserta seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan komisi tersebut perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Hal itu akan menempatkan KPK sejajar dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai bagian penting kehidupan negara Indonesia," kata Emerson Yuntho dihubungi, di Jakarta, Selasa (25/8).
Menurut Emerson, dengan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan menghilangkan perdebatan bahwa KPK merupakan lembaga adhoc atau bukan. Dengan begitu, wacana pembubaran ataupun pelemahan KPK juga akan hilang.
"Setiap negara pasti ada korupsinya. KPK perlu ada terus di Indonesia karena pemberantasan korupsi bukan saja bicara tentang penindakan tetapi juga pencegahan," tuturnya.
Dalam tes wawancara dengan panitia seleksi calon pimpinan KPK, Jimly Asshiddiqie menyatakan kelembagaan komisi tersebut perlu diperkuat dengan dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menjadi lembaga permanen.
"Lembaga ini harus dibuat permanen, saya setuju kalau ada perubahan. Jadi UUD kita lebih lengkap," kata Jimly di hadapan panitia seleksi di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta.
Anggota Panitia Seleksi Harkristuti Harkrisnowo kemudian menanyakan apakah itu berarti Jimly tidak setuju dengan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri yang belum lama menyatakan KPK bisa dibubarkan bila korupsi sudah bisa diberantas.
Menurut Jimly, pernyataan Megawati itu merupakan ekspresi kekecewaan, bukan hanya pribadi Megawati tetapi juga politisi di Indonesia, terhadap cara kerja KPK.
"Mudah-mudahan saya bisa meyakinkan orang supaya lembaga KPK bukan dibubarkan, tetapi diperkuat," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu.