REPUBLIKA.CO.ID, oleh Komaruddin Hidayat
Dalam setiap ibadah selalu ada dimensi lahiriyah (eksoterik) dan dimensi batiniyah (essoterik). Yang pertama bisa diamati dan dinilai oleh sesama manusia, sedangkan yang kedua bersifat sangat pribadi dan hanya Allah yang tahu.
Ibadah haji, sebagimana juga shalat, puasa dan zakat ada dimensi yang bisa diukur secara kuantitatif. Misalnya, dalam hal jumlah bilangan rakaat dalam shalat, batas nisab dalam zakat, dan jumlah hari dalam puasa, kesemuanya memiliki aspek kuantitatif yang bisa diukur dan diamati.
Namun ketika memasuki aspek spiritual, termasuk kekhusyukan dan keikhlasan, semua bersifat sangat personal dan metafisis, dan wilayah itu hanya Allah yang Mahatahu. Jadi, apakah mereka yang hafal dan paham bacaan shalat mesti khusyuk dan diterima Allah shalatnya? Belum tentu.
Demikian pula halnya berkaitan dengan ibadah haji. Kita bisa saja melakukan evaluasi layaknya terhadap anak sekolah, apakah seseorang hafal ataukah tidak doa-doanya, pahamkah maknanya, terpenuhi ataukah tidak syarat rukunnya, kesemuanya mudah diamati dan diukur.
Namun, sekali lagi, apakah mereka yang sudah memenuhi aturan lahiriyah sesuai pedoman fiqhiyah berhaji mesti mabrur hajinya? Apakah mereka yang masuk kloter haji VIP kualitas hajinya juga VIP di mata Allah? Allah yang Mahatahu. Apakah hajinya para pejabat tinggi dan ulama mesti lebih mabrur ketimbang orang biasa yang menabung puluhan tahun baru bisa ke Makkah? Inilah yang dimaksud dimensi metaphisik, dimensi esoteric, dimensi batin, yang kita tidak tahu.