REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Banyak konsumen kecewa karena hasil akhir bangunan rumah mereka jelek, khususnya kualitas kayu konstruksi tak sesuai dengan yang diinginkan. Kepala Bagian Evaluasi Diseminasi dan Kepustakaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Nugroho Sulistyo Priyono mengatakan, pengembang nakal umumnya mengganti kualitas kayu dengan kayu di bawah standar yang harganya lebih murah.
"Dulu kami usulkan pengembang untuk menggunakam teknologi pengawetan kayu, namun belum ada regulasi yang mewajibkan sampai saat ini," ujar Nugroho kepada Republika di Bogor, Sabtu (29/8).
Nugroho mencontohkan, pengembang menyampaikan kepada konsumen bahwa kayu konstruksi rumah mereka berjenis bangkirai. Ini adalah jenis kayu berkualitas bagus dan khas dari Kalimantan.
Akan tetapi, pengembang nakal rupanya mengganti bangkirai dengan kerabatnya, yaitu kamper, meranti, atau keruing. Ketiga jenis kayu ini memiliki serat mirip dengan bangkirai, namun kualitasnya jauh di bawah bangkirai.
Dalam dunia kehutanan, identitas kayu bisa dilacak dengan skema DNA tracking untuk melacak asal usul kayu. Teknik ini tak hanya bisa mengetahui pengembang nakal, melainkan juga melacak legalitas kayu dan verifikasi asal usul kayu.
DNA tracking juga berhasil mengungkap penyelundupan besar-besaran kayu merbau ke Cina beberapa waktu lalu. Cina mengklaim kayu tersebut berasal dari Papua Nugini. Namun, DNA tracking bisa membuktikan bahwa merbau hanya ada di Papua dan Ambon. Teknik ini tidak berpengaruh pada kondisi kayu apapun, apakah masih berbentuk kayu gelondongan, produk kerajinan, bahkan bubur kayu.