Rabu 16 Sep 2015 16:41 WIB

Hukum Mengadopsi Anak (1)

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Mengadopsi anak (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Mengadopsi anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi pasangan suami istri yang berkemampuan namun belum dikaruniai keturunan, terkadang muncul niat untuk mengadopsi anak. Apalagi, salah satu di antara mereka telah divonis mandul secara medis. Tentu ada keinginan membesarkan anak, sebagaimana keluarga-keluarga normal lainnya. Salah satu tujuan dari menikah adalah menghasilkan keturunan sebagai pelanjut generasi. Namun, bagaimanakah pandangan hukum Islam terkait anak adopsi ini?

Dalam istilah fikih, mengadopsi anak diistilahkan dengan tabanni. Definisinya diartikan sebagai perlakuan mengambil anak orang lain dan dianggap seperti layaknya anak kandung sendiri. Walau secara nasab dan hukum anak tersebut bukanlah anak kandungnya, perlakuan yang diterima si anak dari segi nafkah, kasih sayang, pendidikan, dan keperluan lainnya sama layaknya dengan anak kandung.

Rasulullah SAW pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah sebagai anaknya. Anak-anak Rasulullah SAW yang semuanya perempuan membuat Beliau SAW ingin pula membesarkan anak laki-laki. Zaid adalah hamba sahaya yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW dan Khadijah RA. Zaid memilih tinggal bersama Rasulullah SAW ketimbang bersama orang tuanya sendiri. Rasulullah SAW pun mengumumkan kepada masyarakat bahwa ia mengadopsi seorang anak. Bahkan, penduduk Makkah sampai-sampai memanggil Zaid bin Haritsah dengan panggilan Zaid bin Muhammad.

Namun, tindakan Rasulullah SAW tersebut dibatalkan dengan turunnya QS al-Ahzab ayat 40, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.”

Ayat ini membatalkan tabanni sekaligus menjelaskan anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan bapak angkatnya. Demikian pula, istri yang telah diceraikan anak angkat adalah halal untuk dinikahi bapak angkatnya. Inilah alasannya Rasulullah SAW menikahi Zainab binti Jahsy yang telah diceraikan Zaid bin Haritsah.

Secara lebih perinci, masalah tabanni ini diuraikan pula dalam QS al-Ahzab ayat 4-5. Firman Allah SWT, “Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula (hamba sahaya yang dimerdekakan).”

Setelah ada penjelasan soal tabanni dalam ayat ini, Zaid bin Haritsah tak lagi dipanggil Zaid bin Muhammad. Ayat ini menegaskan, mengadopsi anak tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya.

Seperti menyematkan nama orang tua angkat di belakang nama si anak. Rasulullah SAW kembali memanggil anak adopsinya dengan Zaid bin Haritsah, yaitu dengan nama bapak kandungnya. Demikianlah ajaran Islam yang sangat menjaga persoalan nasab seseorang.

Dari Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari Muslim).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement