REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengkritik putusan MK pada uji materi UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengenai pemeriksaan anggota dewan harus dengan izin tertulis Presiden. Menurut Jimly, putusan tersebut akan memperpanjang birokrasi dan menjadi hambatan prosedural di kemudian hari.
"Keputusan ini akan menambah birokrasi. Saya kira upaya kami membangun integritas bernegara, integritas demokrasi, terutama pejabat negara akan mengalami sedikit hambatan," kata Jimly di gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (23/9).
Menurut Jimly, di tengah kondisi persoalan bangsa yang begitu banyak saat ini, seharusnya MK mempermudah dan bukan malah mempersulit birokrasi. Meski begitu, Jimly mengatakan, putusan MK tersebut harus dihormati karena bersifat final dan mengikat
"Sebagai pribadi, saya sendiri merasa prihatin. Di tengah banyaknya kesulitan dalam memberantas korupsi, membangun pemerintahan yang baik, ada tambahan hambatan prosedural di bidang birokrasi dan tentunya menambah pekerjaan presiden," ujarnya.
Mahkamah Konstitusi (Mk) mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dalam amar putusan, hakim konstitusi Arief Hidayat memaparkan bahwa frasa "persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan" dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 diubah menjadi "persetujuan tertulis dari presiden".
Dengan begitu, pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR, yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus mendapat persetujuan presiden, bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).