REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusul pasal kretek akhirnya mengaku. Adalah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Firman Subagyo yang mengusulkan kretek tradisional sebagai bagian warisan budaya nasional di pasal 37 hurul l draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan (RUU Kebudayaan).
“Saya yang pertama menyampaikan, dan clear karena ada masukan dari budayawan,” kata Firman di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/9).
Firman menegaskan, usulan kretek sebagai bagian warisan budaya nasional memiliki argumentasi. Salah satunya adalah kretek sudah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia dan diakui oleh dunia.
Menurut dia, keberadaan kretek sudah termasuk bagian dari kekayaan budaya Indonesia karena hanya satu-satunya di dunia. Jadi, pasal kretek ini tujuannya untuk melindungi hak dari kekayaan kretek sebagai warisan budaya nasional. Jangan sampai, kretek diakui oleh negara lain dan Indonesia harus membayar royalti jika ingin membuat kretek.
Politikus Partai Golkar ini mengatakan, perlindungan terhadap kretek tidak cukup dengan hanya mendaftarkan sebagai hak paten atau hak cipta. Sebab, ini adalah hal yang berbeda. Kretek, dalam pasal 37 huruf l di RUU Kebudayaan dianggap sebagai warisan budaya nasional. Tidak sekadar hasil cipta karya, tapi lebih pada perihal ‘heritage’.
Bahkan, kata dia, kretek sebagai warisan budaya juga sudah dibahas dalam panitia kerja (panja) RUU Kebudayaan di komisi X DPR RI. Namun, dalam perkembangannya, kretek tidak dimasukkan dalam draf RUU. “Di Baleg dibahas ulang, saya mengusulkan, saya melontarkan kretek ini warisan budaya karena keunikannya, makanya disetujui dan masuk dalam draf RUU Kebudayaan,” kata Firman.
Politikus kelahiran Pati, Jawa Tengah ini menambahkan, pembahasan pasal kretek ini sudah dilakukan sejak bulan lalu. Selain soal kretek, warisan budaya juga memuat warisan budaya yang lainnya yang harus dilindungi.