Rabu 30 Sep 2015 13:01 WIB
Salim Kancil

Salim Kancil, Buta Huruf yang Menjadi Martir Lingkungan

Rep: Andi Nurroni/ Red: Erik Purnama Putra
Dukungan untuk almarhum Salim Kancil.
Foto: Twitter
Dukungan untuk almarhum Salim Kancil.

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Salim (56) atau diakrab disapa Kancil, hari ini menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap tirani kekuasaan dan perusakan lingkungan. Petani yang tak pernah sekolah dan buta huruf itu dibunuh karena perjuangannya mempertahankan tanah.

Di kalangan warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Salim dikenal sebagai seorang pendiam dan tidak pernah macam-macam. Lantas, kenapa Salim bisa dihabisi dengan sangat keji oleh para preman tambang?

Paman Salim, Sapari (65) bercerita, Salim menjadi incaran para preman tambang karena ketidakmauan dia melepaskan sawah di pesisir Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar. Menurut Sapari, di pesisir tersebut, Salim memiliki sawah seluas 2,5 hektare.

Tanah itu, kata Sapari, tadinya rawa-rawa yang diuruk sendiri oleh Salim pada tahun 80-an. Di pesisir Desa Selok Awar-Awar sendiri, menurut Sapari, ada sekitar 50 hektare lahan rawa yang diuruk warga dan dijadikan sawah sejak tahun 60-an.

Sebagian lahan sawah, kata Sapari, mendadak tidak bisa ditanami sejak hadirnya penambangan pasir dengan alat-alat berat di tepi pantai pada 2013. Itu terjadi, kata dia, karena air dari laut masuk ke sawah jika pasang. Sementara, air dari irigasi menjadi kering karena tersedot ke laut jika laut surut.

Sawah Salim, kata Sapari, letaknya menjadi strategis karena hendak dijadikan jalur keluar-masuk baru truk-truk pengangkut pasir. Itu dilakukan penambang agar pengangkutan pasir bisa lebih banyak. Untuk itu, kata Sapari, Salim dibujuk pihak penambang untuk menjual tanahnya.

Selain untuk tempat parkir truk, kata Sapari, sawah Salim juga rencananya akan dikeruk karena kawasan pesisir mulai landai. "Tapi Kancil enggak mau, jadi dia dikejar terus," kata dia, dijumpai Republika di rumah Salim, Rabu (30/9).

Sudah setahun, kata Sapari, Salim terus diintimidasi dan dipaksa melepas tanahnya. Menurut dia, 2,5 hektare sawah Salim hendak dibeli Rp 50 juta oleh penambang. Tapi, kata Sapari, Salim tidak pernah mau menjualnya. "Dia enggak mau, karena sawah itu hasil kerja kerasnya," ujar Sapari.

Dengan dalih memiliki izin, kata Sapari, satu lajur sawah Salim diambil paksa dan dijadikan jalur truk. Menurut Sapari, Salim dipaksa menerima kesepakatan bahwa Salim akan menerima Rp 1.000 untuk setiap truk yang masuk.

"Tapi ternyata bohong, Salim cuma dikasih Rp 1 juta di awal, terus ke sananya bablas," kata Sapari.

Para pemilik sawah di pesisir yang tidak bisa bercocok-tanam karena penambangan, kata Sapari, lalu membentuk forum komunikasi pada Januari 2015 untuk mendesak penutupan tambang. Salah satu anggotanya, kata Sapari, adalah Salim.

Sejak saat itu, menurut Sapari, Salim selalu diincar dan diintimidasi. Sapari tak menyangka, orang-orang tambang membunuhnya dengan cara sekeji itu.

Salim alias Kancil tewas ditangan 40-an preman tambang pada Sabtu (26/9). Ia diarak dan disiksa, sebelum akhirnya dibunuh di hutan sengon dekat kuburuan, sekitar 1,5 km dari rumahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement