REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel mengumumkan langkah lebih keras untuk mengatasi protes yang mungkin muncul menyusul kematian remaja Palestina dalam bentrokan di dekat kota Bethlehem, Tepi Barat.
Kekerasan di Tepi Barat dan Yerusalem menjadi intensif beberapa pekan terakhir di mana kematian dalam serangkaian insiden memunculkan kekhawatiran eskalasi luas yang mungkin terjadi.
Sebuah rumah sakit di Bethlehem mengatakan seorang anak berusia 13 tahun yang diidentifikasi sebagai Abdel-Rahman Abeidallah, meninggal karena luka peluru pada jantung.
Sementara, militer Israel berdalih mereka tidak memiliki informasi yang spesifik.
Pertumpahan darah yang baru-baru ini terjadi merupakan reaksi dari serangan yang menewaskan pasangan Israel di Tepi Barat, dan pembakaran yang menewaskan seorang balita Palestina serta orang tuanya pada Juli lalu.
Israel telah menangkap lima orang dari kota Nablus, Tepi Barat yang dituduh terlibat dalam penyerangan pasangan Israel.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sendiri memang telah mengizinkan tindakan keras untuk mengatasi kerusuhan di Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua dan Tepi Barat, wilayah yang direbut Israel pada perang 1967.
Dalam pidatonya yang disiarkan sebelum pertemuan, Netanyahu menerangkan empat batalyon tentara lebih telah dikerahkan di Tepi Barat. Pasukan itu akan ditambah lagi dengan ribuan polisi yang juga sudah ditempatkan di Yerusalem.
"Polisi akan masuk ke dalam lingkungan Arab, yang belum pernah dilakukan di masa lalu. Kami akan menghancurkan rumah teroris. Kami mengizinkan pasukan kami untuk mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang melemparkan batu dan bom api," ujar Netanyahu, dikutip dari Al Arabiya, Rabu (7/10).
Terpisah, juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri menegaskan tindakan keras Israel tidak akan berhasil mematikan aksi protes.